Senin, 30 April 2012

Dasar Lautan



"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)


Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV `Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.

Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.

Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak
kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.

 Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan
(surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan..."Artinya: "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.

Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" ertinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara.

Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih
untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.

Allahu Akbar...! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."



 Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat
sebuah "sungai" di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan. 


Kamis, 26 April 2012

Our Brain

 Kalbu atau Qalbu

“Qalbu atau Kalbu adalah Otak kedua manusia, ia bisa berpikir dan memahami. Kalbu adalah sistem yang independen, memiliki lebih 40 ribu sel syaraf (Heart Brain) yang mampu mengolah informasi yang masuk, baik dari mata, telinga atau indra yang lain. Ia, merupakan pasangan tandem Otak (Brain), dan  dominan dalam memberi masukan. Orang yang lalai (celaka) dijelaskan dalam Kitab Mulia, karena “Kalbunya tidak memahami”, pengolahan informasi (berpikir) yang tidak benar dan  kurang optimal.





Salah satu keunikan Kitab Mulia adalah, Kitab tersebut sangat menekankan pada penggunaan akal dan pikiran para pembacanya. Kita semua diminta untuk mempergunakan segenap potensi akal dalam proses berpikir. Bahkan, salah satu yang sering disesalkan oleh Kitab Mulia kepada para penentangnya (orang Kafir atau yang Menolak dan Penyembah Berhala di Mekkah, sebagai contoh), adalah frase pertanyaan yang sangat populer dikalangan cendekiawan Muslim : “ Mengapa engkau tidak berpikir? “A fa laa ta’qiluun?”. Ditempat lain, juga senada : “A fa laa tatafakaruun?” Mengapa engkau tidak merenung, tafakur, berpikir? Kata ‘aq’lu sendiri, menurut Dr Quraish Shihab, diulang dengan berbagai macam bentuk derivasinya lebih dari 200 ayat. Dari kata tersebut, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti akal pikiran.
Ada perbedaan, interpretasi kita pada umumnya, tentang akal! Kitab Mulia, ketika memerintahkan untuk berpikir, atau menggunakan segenap akalnya, yang dimaksud bukan saja dengan Otak dikepala (Brain), tapi juga dengan Kalbu (Qalbu). Bahkan kata Kalbu ini sangat dominan, diulang lebih dari 100 ayat – sedangkan kata An Nassiyah yang bisa dimaknai dengan Otak dikepala biasanya diterjemahkan dengan "Ubun - ubun", hanya 4 ayat – dan spesifik yang berarti Frontal Cortex atau Otak Depan hanya 1 ayat, yaitu disurat Al Alaq (Segumpal daging - pra embrio atau disebut juga Zigot). Esensinya, Kalbu yang dapat memahami (yaf qahuuna) dan yang dapat berpikir (ya’qiluuna) harus dipergunakan maksimal, ia adalah pasangan dari Otak (Brain) kita!
Luar biasa!

Apakah memang ada organ tubuh lain selain Otak yang dapat berpikir, dan mengolah informasi?

Kata Qalb arti harfiahnya adalah “bolak-balik”, yang bermakna tidak stabil. Kadang ia berniat baik dan kadang ia (lebih banyak) berniat buruk.

 Qalbu sangat vital dalam diri manusia. Nabi menjelaskan bahwa “ada sekerat daging (mudghah) – jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik, sebaliknya jika ia buruk, seluruh tubuh manusia akan berdampak buruk. Daging tersebut adalah Qalbu” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan “wadah” itu, dipahami dalam arti "alat atau organ tubuh" misalnya, dalam wahyu berikut ini: “Mereka mempunyai Kalbu, tetapi tidak digunakan untuk memahami “(Qs, 007: 179). Perhatikan kata “memahami (yaf qahuuna)” – kita bisa memahami jika ada proses berpikir. Kita berpikir, jika ada informasi yang masuk, apakah melalui penglihatan, mendengar atau merasakan sesuatu. Dalam ayat lain ditekankan: “ Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi Kalbu yang berada di dalam dada” (Qs, 22: 46).  Bukan matanya yang buta, sehingga tidak bisa memahami, tetapi Kalbunya yang tidak berfungsi optimal. Kita diberitahu pula, bahwa Kalbu tersebut ada didalam dada!

Pertanyaannya, Kalbu siapa yang buta atau tidak memahami? Itulah Kalbu-kalbu orang-orang yang tidak mau berpikir secara optimal, orang-orang yang menolak risalah Illahi yang dibawa oleh para Rasul, para Penyembah Berhala walaupun sudah diberi tahu itu salah tetap saja tidak berubah, orang yang sombong yang mengabaikan informasi yang benar, orang yang lebih dekat kepada kehidupan dunia dan orang yang melampaui batas (pembunuh , menjajah, intimidasi, menindas, merampok dan pemerkosa - misalnya)!
Dengan demikian , Kalbu adalah nyata – ia “sekerat daging” , sebuah alat dan adanya di dalam dada. Organ tubuh manakah itu?
Keterangan berikut, menjelaskan bahwa Kalbu manusia di dunia dan di akhirat (Jannah) berbeda. Didalam Surga atau Jannah, Kalbu manusia tidak memiliki sifat-sifat buruk, seperti iri hati, dendam dan sifat buruk lainnya. Lihat saja ayat ini: “ Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (sofa panjang dan lebar)”‘(Qs,15: 47).

Keterangan tambahan, bahwa “Tuhan hanya menuntut tanggung jawab niat di-Qalbu kamu “( Qs, 2: 225).  Maknanya, Qalbu sangat dominan untuk menentukan seseorang itu baik atau buruk, salah satunya – karena niat seseorang disimpan dalam Kalbunya. Tetapi yang berhubungan dengan “behaviour” atau sifat orang seperti para “pendusta” dan “pendurhaka” akan tanda-tanda Kekuasaan Tuhan adanya di “An Naashiyah” (Qs, 96:16). Biasanya diterjemahkan dengan “ubun-ubun”. Tentu saja keliru! Ubun-ubun, hanya dimiliki oleh bayi hingga berumur 2 tahun, tidak dimiliki oleh orang dewasa. Keterangan spesifik ayat tersebut, berhubungan dengan kisah Abu Jahal, tokoh Mekkah yang sangat durhaka – penentang Nabi berniat menculik dan membunuh. Secara umum, ini yang luar biasa, memberi isyarat kepada pembaca, bahwa “karakter manusia” disimpan di sekitar dahi diatas kepala. Dalam bahasa sains itulah “Otak depan” atau “Frontal Cortex”. Salah satu fungsi Frontal Cortex, menurut “neuroscience” adalah menyimpan informasi tentang “motivation & behaviour”, selain fungsi “planning” dan “decision making process” atau CEO (Chief Executive Organization).  

Bagi orang –orang yang sering mengabaikan Kalbunya, tidak dimanfaatkan secara optimal, maka “Tuhan menutup Kalbu dan pendengaran mereka” (Qs, 02:07). Maknanya, apakah diberi petunjuk atau tidak oleh Tuhan, sama saja – tetap saja tidak percaya (beriman). Istilah awam – “ Masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan”, informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebenaran tidak diolah sebagaimana mestinya, akibatnya hanya angin lalu saja. Inilah yang disebut “Kalbu yang tidak memahami” atau “lahum quluubul laa yaf qahuuna biha” . Contoh nyata, adalah para penentang Nabi dan Utusan Tuhan disegala jaman – walaupun sudah berkali-kali diberi informasi, dengan segala mukjizatnya, tetap saja mereka kafir (menolak) dan melanjutkan tradisi mereka, meyembah patung batu, yang tidak dapat memberikan manfaat apa-apa. Berbeda dengan Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, memberikan sinar Matahari, udara, pengaturan Matahari dan Bulan, atmosfir, tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak. Tuhan Pencipta Manusia dan golongan al Jin, yang mendidik dan mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Qs, 96, 1-5).

Perlu ditambahkan bahwa Kitab Mulia, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, juga biasa menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya saja, misalnya: ..."Mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (Qs, 02: 19), yang sebenarnya dalam arti ujung jari-jari. Demikian juga kata “mudghah” atau “sekerat daging” untuk Kalbu, bisa berarti hanya bagian kecil saja dari sekerat daging tersebut.

Banyak Ulama atau para pendakwah Muslim, memaknai Kalbu tersebut adalah Hati (Hepar atau Lever), tentu saja ini salah. Jika kita baca Kitab Mulia edisi bahasa Inggris (terjemahan). Kata Kalbu diterjemahkan dengan kata “Heart” atau Jantung, dalam bahasa Ibrani “qalb” artinya “qeld” dan bahasa Urdhu “qelde” atau “Jantung”. Kita tahu bahwa Jantung ini ada didalam dada. Masalahnya, bagian mana Jantung yang merupakan Kalbu?

Jadi apakah Kalbu atau Qalbu itu??


YOUR HEART HAS A BRAIN.

Heart Brain, Qalbu Sistem syaraf independen, terlihat seperti noktah putih.
Nerosains sudah maju sedemikian rupa, hingga berhasil menemukan bahwa Jantung manusia memiliki Otak tersendiri, itulah yang disebut “sistem syaraf yang independen”, hanya terdiri dari minimal 40.000 neron atau sel syaraf (bandingkan dengan triliunan sel syaraf yang ada di Otak diatas kepala kita). Para saintis, seperti Prof. Dr J Andrew, Dr Swartz dan ilmuwan Dr. Mohamed Osman Salem ilmuwan  Inggris sepakat mengenai itu.

Dibawah ini adalah kutipan pernyataan Dr Schwartz tahun 2007, Peneliti Sel Syaraf  di UCLA, Brain Research Inststitute
 A second brain in the heart is now much more than a hypothesis. Today new science has confirmed that the heart is involved in our feelings, that it is intelligent and that it  canlead the brain in our interpretation of the world around us.
Neuroscientists discovered exciting new information about the heart that makes us realize it's far more complex than we'd ever imagined. Instead of simply pumping blood, it may actually direct and align many systems in the body so that they can function in harmony with one another.
We have found that the heart has its own independent nervous system – a complex system referred to as "the brain in the heart." There are at least forty thousand neurons (nerve cells) in the heart – as many as are found in various subcortical centers of the brain.”

Apa artinya?

Artinya, Jantung kita memiliki Otak, yang disebut Otak Jantung, sebagian ilmuwan menyebutnya Heart Brain atau Cardiac Ganglia – sedang dalam bahasa Kitab Mulia, itulah Kalbu yang ada didada manusia.!
Sudah lama Kitab Mulia memberi isyarat, 1400 tahun yang lalu,  bahwa yang namanya Kalbu memiliki otoritas sendiri, bebas (independent) dan mekanisme kerjanya terpisah dari jazad (organ tubuh) yang lain, “….dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan Kalbunya……” (Qs, 08:24).
Lebih lanjut, Otak Jantung atau Kalbu ini berkomunikasi dengan Otak dan tubuh manusia dengan 4 cara:
  1. Melalui transmisi syaraf berupa impuls listrik (neurologic)
  2. Melalui produksi hormon dan pemancar neuro (biokomia)
  3. Melalui gelombang tekanan darah (biofisik)
  4. Luar biasa adalah, juga melalui gelombang elektromagnit (energi). 
Dengan cara-cara diatas dalam berkomunikasi, Otak Jantung memiliki pengaruh yang penting dalam fungsi Otak dan semua sistem tubuh.

Jadi sekali lagi, yang dimaksud Kalbu adalah Otak Jantung (Heart Brain) yang memiliki fungsi antara lain:

Pertama, mengelola, mengatur, dan mengendalikan semua informasi dalam bentuk rasa yang tidak terstruktur (emosi, rasa, intuisi, ilham, (keyakinan) iman dan rasa takut kepada Tuhan atau takwa). Dalam bentuk fisik - minimal 40.000 sel syaraf (neuron) diatas jantung (dinding), seperti cendawan berserabut (dari gambar dasar biru terlihat seperti noktah putih), banyak "bulu halus“ – berfungsi sebagai radar atau transmitter yang dapat menerima dan memancarkan sinyal radio dibawah frekensi 40 Hzt.Maaf ya...karena hak cipta, detil gambar "sistem syaraf independen" tersebut tidak bisa ditampilkan.

Kedua, bersama Otak (Brain), berpasangan tandem, bekerja sama dalam memutuskan berbagai pilihan dan tindakan manusia.

Ketiga, menyimpan informasi, yang disimpan adalah sebuah “pemahaman” atau “kesadaran” - yang dominan mempengaruhi Otak. Suatu bentuk “kepribadian (personality)”, termasuk, misalnya, kasih sayang atau cinta (love) dan “benci” (hate) kepada seseorang atau kebencian (hatred) kepada suku atau agama tertentu. Tentu saja,  termasuk diantaranya, ‘believe”  (iman) dan “faith” (keyakinan, takwa).

Keempat, mengatur detak Jantung dan produksi Hormon, dalam bentuk komunikasi dengan Otak dan tubuh lainnya.

Bagaimanapun juga, fungsi analisa, perencanaan, proses pengambilan keputusan dan pusat tindakan adanya di Otak Depan. Namun pasangannya ada di Kalbu, karena Kalbu menyimpan informasi tentang niat, dan kepribadian seseorang – apakah itu baik atau buruk. Kepribadian inilah yang ditransfer ke Otak Depan dan disimpan disana sebagai bentuk, Motivasi dan Karakter (Motivation & Behaviour), yang sangat mempengaruhi berbagai keputusan Otak Manusia.
Dengan demikian, yang disebut akal dan berpikir oleh Kitab Mulia, adalah kerja sama antara Otak dan Kalbu, yang saling melengkapi, seperti sepasang suami-istri. Makin tinggi Kecerdasan Kalbu seseorang, ia semakin ramah, sabar, tidak sombong, santun, senang membantu orang lain, pemaaf, rendah hati dan jauh dari perilaku buruk. Semakin beriman semakin cerdas kalbunya! Kalbu yang cerdas sangat membantu Otak untuk menentukan pilihan yang terbaik.
Oleh karena itu, kita bisa memahami, berkali-kali Kitab Mulia menyesalkan orang-orang yang tidak berpikir dengan baik. Karena mereka memiliki Kalbu tapi tidak “Memahami”. Memiliki mata tapi tidak melihat dan memiliki telinga tapi tidak mendengar – itulah Kecerdasan Kalbu yang rendah – disebut orang yang lalai (Qs, 02:179). Intinya, mereka mendapatkan informasi, tapi tidak bisa mengolah informasi tersebut dengan benar. Karena, Kalbunya tertutup oleh kepribadian yang salah, sombong, meremehkan orang lain, punya kepentingan yang berlawanan, dan perbuatan-perbuatan yang buruk lainnya.

Brain and Heart Brain
 Dibawah ini keterangan pokok, yang menegaskan fungsi Kalbu dalam bahasa agama, misalnya: Kalbu yang tidak mau memahami (berpikir) akan menutup dengan sendirinya (Qs, 30:59), karena yang diusahakannya buruk akan menutup Kalbu mereka (Qs, 83:14). Tuhan memalingkan Kalbu (Qs,06:110), karena perbuatannya, Kalbu dikunci (Qs, 07:100), Tuhan mengunci Kalbu orang-orang yang melampaui batas (Qs,10:117). Orang yang terbuka Kalbunya dengan orang yang membatu Kalbunya tidak sama (Qs, 39 :22). Seseorang yang dikunci hatinya tidak mendapat petunjuk lagi (Qs, 7:100) – karena sama saja, diberi petunjuk atau tidak mendapat petunjuk.
Jantung berfungsi bukan hanyasebagai mesin pompa darah saja, tapi ia juga memiliki sistem syaraf yang bebas, lebih dari 40.000 neuron. Itulah Otak Jantung atau Kalbu kita, yang fungsinya sangat dominan dalam menentukan apakah diri masing-masing manusia akan masuk ketempat yang “ Buruk” atau ke tempat yang “Indah” pada kehidupan kedua. Itulah Kalbu - pergunakanlah untuk berpikir sebaik-baiknya.   Dengan demikian, Kalbu bukanlah organ tubuh Hati (Hepar, Lever), ia adanya di Jantung (Heart) didalam dada (shadr), terdiri dari sistem independen, lebih dari 40.000 sel syaraf yang mampu mengolah informasi  (Heart Brain) - ia berpikir dan memahami.

A falaa ta’qiluun?
Mengapakah kamu tidak berpikir dengan kedua Otakmu?

TASAWUF

 

Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Tuhan adalah asalusul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada- Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya. Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba. Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" ( similarity in uncomparability).

Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya" (). Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan sufi —dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog- — beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya. Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa 'Alim (subjek yang mengetahui). (subjek yang mengetahui). Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya 'Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian karena bukankah namanama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri? Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu. Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya? Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu. Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin. Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh. Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).

Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin. Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan de - ngan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai ham ba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.

Allah SWT sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal. Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.

Allah SWT sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya. Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugrah (isti'anah).