Jumat, 20 Juli 2012

PUASA, RAMADHAN DAN KITAB MULIA.

 

PUASA, RAMADHAN DAN KITAB MULIA.
Puasa diambil dari bahasa Sansekerta, yang di adopsi ke bahasa Indonesia. Maknanya ada dua (1)“ mendekatkan diri kepada Pencipta” dan (2) ada yang mengartikan sebagai “menyiksa diri” untuk tidak makan dan minum, atau perbuatan yang lain – untuk tujuan tertentu. Sudah lama kata ini dikenal di Hindustan, ribuan tahun yang lalu. Sedangkan bahasa Inggris, mengenal kata “fasting”, konon dari bahasa Jerman “fasten” .


Kitab Mulia menggunakan kata “shiyam” merujuk kata puasa, tertulis sebanyak delapan kali. Semuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum Islam. Kadang, Kitab Mulia menggunakan kata “shaum” yang berarti menahan diri, misalnya untuk tidak berbicara (Qs, 19:26) – yang diceritakan pada kisah Maryam (Maria, Mariyah). Ketika Maryam diajarkan oleh malaikat Jibril as untuk tidak berbicara kepada seorang manusiapun, jika ada yang mempertanyakan kelahiran Isa as (Yesus). “Biarlah yang menjawab semua pertanyaan tersebut Isa as sendiri - sewaktu bayi”. Kata “shaum” juga digunakan sekali-kali dalam bentuk perintah Puasa di bulan Ramadhan, yang menunjukkan bahwa “puasa adalah baik untuk kamu”.
Bagaimanapun kata “shiyam” atau “shaum” – bagi kita – pada hakekatnya adalah menahan diri atau mengendalikan diri. Karena itu, kata puasa dipersamakan dengan sikap “sabar”, baik dari segi bahasa maupun pengertian kesabaran dalam berpuasa ( Dr. Quraish Shihab – Wawasan al Qur’an).


Dalam tradisi Islam, nilai berpuasa sangat tinggi, dan hak prerogatif Tuhan yang menilainya. Misalnya dalam sebuah hadist Qudsi menyatakan bahwa : “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”. Nilai tiap orang berbeda-beda dalam menjalankan puasanya.


Pertama-tama , kita akan meluruskan beberapa hal. Shiyam atau Shaum hanya diserukan bagi orang-orang yang beriman, bukan untuk Muslim atau orang yang beragama Islam – tetapi Muslim yang “merasa” beriman. Ini dimulai dengan dorongan kepada umat Islam yang beriman untuk melaksanakan dengan baik, dengan ikhlas. Perhatikan (Qs, 002:183), ia dimulai dengan panggilan mesra. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu untuk berpuasa”. Ditambah keterangan lainnya, bahwa puasa telah lama dikenal oleh umat-umat terdahulu (min qablikuum), berbagai riwayat menunjukkan telah dikenal sejak Ibrahim (Abraham), Musa (Moses) hingga Isa as (Yesus). Tujuannya “supaya kamu bertakwa” atau “la’allakum tattaquun”.


Nabi memberi keterangan sehubungan dengan kalimat “supaya kamu bertakwa” ini. Misalnya saja: “ Banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. Karena tidak “sabar”, berkata kurang baik, berperi laku tidak sesuai dengan apa yang menjadi pedoman puasa. Dengan demikian, menahan diri “dari lapar dan haus” bukan tujuan utama puasa. Banyak juga manusia yang berpuasa karena alasan lain, misalnya demo untuk protes, penyucian diri, untuk kesehatan dan lain-lain. Tetapi puasa di bulan Ramadhan, benar-benar karena ingin mendapat ridha dari Tuhan semata.


Takwa dari sisi bahasa, menurut Dr Quraish Shihab bermakna “menjauhi, menghindar” atau “menjaga diri”. Namun ada yang “aneh”, secara harfiah, kalimat perintah ini berarti: “Jauhilah dan jaga dirimu dari Allah”. Dengan demikian harus ditafsirkan sebagai menghindari, jauhi dan menjaga diri agar supaya tidak mendapat hukuman (koreksi, imbalan) dari Tuhan – karena melanggar batas. Baik itu hukuman didunia sebagai peringatan atau koreksi, maupun hukuman di akhirat sebagai buah perbuatan di dunia. Takwa adalah bentuk usaha menghindari diri dari perbuatan-perbuatan buruk, yang menyebabkan kita mendapat peringatan, koreksi atau hukuman dari Tuhan. Makin jauh dari perbuatan-perbuatan tercela – makin bertakwalah kita.
Syeikh Muhammad Abduh, pemikir Islam, memberi pernyataan yang lebih tegas, “0rang-orang bertakwa adalah orang-orang yang setiap saat merasakan kehadiran Tuhan, sehingga ia merasa takut untuk berbuat hal-hal yang buruk”. Termasuk berdusta, melanggar janji, berkata tidak ada manfaatnya, dan menyakiti hati orang lain dan selalu memikirkan bagaimana beramal saleh.


Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, Muslim beriman dilatih untuk berbuat sesuatu yang akan menambah ketakwaannya. Sehingga ia lama-lama – setiap saat akan merasakan kehadiran Tuhan Sang Pencipta – dan tidak berani berbuat hal-hal yang buruk dan tidak berguna, serta memperbanyak hal-hal yang baik yang bermanfaat bagi lingkungannya, bagi masyarakat setempat, bangsa dan Negara. Memberikan kontribusi positif, dan ikut membantu membangun peradaban manusia. Sesuai tugas utama seorang khalifah yang dibebankan kepada generasi Adam as di Bumi dan lingkungannya. Makluk berakal dan berbudaya yang dituntut selalu memberi rahmat bagi alam semesta.


Paling tidak ada tujuh manfaat lahir dan batin, menurut para pakar, jika dilakukan dengan benar (Muslim World League Canada Office):


1. Memberikan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia yang kekurangan makan dan minum.
2. Mananamkan rasa akan adanya kehadiran Tuhan didekat kita.
3. Memberi pelajaran akan disiplin program, waktu dan harapan. Ujung-ujungnya sikap lebih optimistik.
4. Melatih kejiwaan, lebih transparan, toleran, clear of mind, dan puluhan manfaat fisik yang telah dibuktikan dalam jurnal kesehatan.
5. Memupuk rasa sosial, kebersamaan dan kesadaran bahwa makhluk manusia memiliki status yang sama, tidak ada yang diunggulkan.
6. Melatih perilaku yang lebih baik dan kontributif.
7. Suatu pelajaran yang efektif dalam penggunaan “will power”, dalam manajemen.


Tetapi jika ia berpuasa dengan cara yang tidak benar, maka yang didapat hanyalah ”rasa haus dan lapar”. Tidak ada manfaat apa-apa.


Sruktur Kitab Mulia Yang Unik.


Uraian Kitab Mulia al-Qur’an tentang Puasa di bulan Ramadhan terdapat dalam sejumlah ayat, yaitu pada Surat (Surah) Al Baqaarah/Sapi Betina, nomor 183, 184, 185, 187. Susunan nomor ayatnya “aneh”, karena tidak berurutan. Lompat dari nomor 186 ke 187.


Ayat nomor 186, awalnya, menjelaskan tentang pertanyaan orang Quraisy di Makkah kepada Nabi, “Dimana Tuhan Muhammad berada?” Maka direspon dengan firman Illahi:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku (Tuhan) memperkenankan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku………” (Qs, 002:186).


Nah disini uniknya susunan Kitab Mulia, jika digit angka nomor surat dan nomor ayat dijumlahkan, maka ia akan membentuk bilangan yang kelipatan 19, bilangan prima kode utama Kitab Mulia. Perhatikan, dimulai dari nomor surat, yaitu angka 2.


2 + 1 + 8 + 3 + 1 + 8 + 4 + 1 + 8 + 5 + 1 + 8 +7= 57. Bilangan 57 adalah bilangan kelipatan 19, karena ia adalah 19 x 3.


Sekarang pembaca mengerti dan paham mengapa, ayat keterangan tentang puasa di bulan Ramaddhan tidak berurutan, ia digeser dari nomor 186 ke 187. Sebab, jika berurutan, maka bilangan yang didapat bukanlah 57 tetapi 56. Angka 56 bukan bilangan kelipatan 19, karena tidak habis dibagi oleh angka 19.


Bagaimana pembaca ? Mulai paham arti kripto dalam Kitab Mulia?


Sudah siap dengan yang lebih sulit?


Kita ringkas saja ya ….penjelasan berikutnya.


Pada dasarnya, ayat-ayat yang memerintahkan puasa dalam bulan Ramadhan, memiliki kode 7 yang lebih rumit. Dengan “cypher” atau “pembuka kode” kata Allah, dimana tersusun dengan 3 abjad, yaitu: Alif, Lam dan Haa. Nah, jika pembuka kode dengan 3 abjad ini diterapkan pada tiap kata dalam ayat tersebut diatas, maka kita akan mendapatkan bilangan yang panjang, yang merupakan kelipatan 7.


Kita ambil contoh ayat 183, terdiri dari 14 kata (7 x 2). Dimulai dengan kata ”yaa ayyuha”, terdapat abjad “alif dan “haa”, maka kodenya “3”, karena jumlahnya tiga, dua “alif” dan satu “haa” (harus lihat teks Arabnya). Demikian seterusnya, hingga kita mendapatkan kode ayat 183 adalah 14 digit angka:


3 2 2 0 2 3 2 0 1 2 1 2 3 0


Bilangan diatas adalah bilangan kelipatan 7, karena ia, 32202320121230 = 7 x 4600331445890.


Artinya setiap susunan abjad, dan kata serta kalimat harus didusun sedemikian rupa, hingga tiap satu ayat membentuk kode bilangan kelipatan 7, dengan pembuka kode kata “Allah”, yang terdiri dari 3 abjad, Alif, Lam, dan Haa.


Tidak terbayangkan bukan.


Dan akhirnya, "Happy Shaum" bagi yang akan berpuasa.


SUMBER: ARIFIN MUFTI
PUASA LAPAR DAN OTAK KITA.


Sumber : Arifin Mufti
Klasifikasi: Sedang.


AWW


Puasa sudah dikenal lama, bukan saja oleh pemeluk Yahudi, Nasrani dan Islam, tetapi juga orang – orang Mesir Kuno, jauh sebelum era Musa as (Moses), ribuan tahun yang lalu. Begitu juga, jika kita bertanya kepada para saintis, mereka dapat dengan mudah menunjukkan ribuan “paper” dan jurnal ilmiah yang menjelaskan manfaat puasa yang dilakukan secara teratur dan sistimatis.


Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh Andrea Useem dan Magaretha. Nama yang pertama, Andrea adalah jurnalis wanita yang sangat terkenal di bidang agama dari Oman, Afrika Timur. Artikelnya kerap muncul di Washington Post atau USA Today. Sedangkan yang kedua, Margaretha kawan saya, penulis yang sering “tag” hasil pemikirannya ke my Note. Dia juga menulis buku, salah satunya dibidang kesehatan, sebagai hobinya.


Puasa dari bahasa Sansekerta “pawasa”, sebagian mengatakan dari bahasa Jawi. Bahasa Ibrani “Tsom” dan bahasa Yunani ”Nesteia”. Puasa bukanlah suatu ketentuan baru yang ditemukan dalam sejarah umat manusia, tapi merupakan amalan ibadah yang diwariskan dan selalu dilakukan oleh manusia semenjak dahulu. Ia sudah dikenal oleh kebanyakan bangsa, termasuk umat beragama. Dalam perspektif Islam misalnya - al Qur’an (Bacaan) memberi isyarat sebagai berikut:


"Telah diwajibkan atas kamu berpuasa (shaum) sebagaimana diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kamu" (Sapi Betina/Al Baqaarah, 2:183).


Sejarah menceritakan kepada kita bahwa orang-orang Mesir kuno melakukan puasa sebagai penyembahan kepada Tuhan yang dinamakan Laysis. Orang-orang Yunani Kuno berpuasa sebagai penyembahan kepada Tuhan ladang yang dinamakan Demeter. China kuno dan orang-orang Indiapun demikian. Cendekiawan dimasa lalu, seperti Socrates, Hippocrates,Galen ,Plato atau Pythagoras juga melakukan puasa untuk kesehatan dan mempertajam daya pikir mereka. Sekali lagi untuk mempertajam daya pikir, berhubungan dengan otak.


Puasa dalam perspektif Islam disebut shiyam - yang menurut arti bahasa bermakna: "menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu". Dimana prinsipnya, menahan diri dari hal - hal tertentu yang cara-caranya diatur sesuai perintah agama, tujuan utamanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan lainnya adalah membentuk karakter yang lebih positif, misalnya melatih kesabaran.


Namun saya tidak akan membahas yang berhubungan dengan dimensi spiritual, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berhubungan dengan otak kita.


Dalam jurnal ilmiah yang relatif baru, karya Dr. Muhammad Kazeem. Puasa yang teratur dapat menolong memantapkan pola tidur dan mengatur jam tubuh.


Kegiatan otak manusia pada dasarnya dapat direkam dalam alat yang disebut EEG. Rekaman tersebut menunjukkan beberapa hal penting:
(1). Ketika kita terjaga dengan tenang akan tercata gelombang alpha 8-12 Hz (lingkaran sesaat), ini adalah tidur tahap satu. Gelombang alpha hilang apabila kita membuka mata atau terjaga.
(2). Apabila tidur mulai lelap, sampai ke tahap dua 12-14 Hz iaitu kemunculan gelombang lambat.
(3).Tahap ketiga dan keempat tidur pula dicirikan dengan kegiatan rendah tetapi tegangan tinggi. Gerakan cepat bola mata (REM) terhenti pada tahap tiga dan empat apabila nafas tenang.


Kegiatan delta (gelombang sangat perlahan, 0.5-4 Hz) muncul ketika betul-betul lelap (tidur mati). Tahap dua, tiga dan empat berlaku sekitar 70 menit.


Siklus ini berlaku tiga atau empat kali semalaman.


Dengan berpuasa, tidur menjadi lebih nyenyak yaitu di tahap tiga dan empat. Apabila tubuh menjadi tenang, Proses memperbaiki tubuh (sel-sel tubuh) dapat dilaksanakan secara sempurna. Sejumlah percobaan membuktikan bahwa orang yang tidur dua jam waktu bulan Ramadhan (Puasa), ternyata lebih baik hasilnya dibandingkan waktu-waktu lain (bulan lain). Banyak mimpi mungkin perlu untuk memelihara kesehatan.


Ketika kita sering berpuasa dengan teratur, maka kita akan jauh lebih mudah mengatur jam tubuh untuk kepentingan kesehatan. Karena jam tubuh kita, ternyata dipengaruhi juga oleh pola lapar dan kenyang, selain pola musim yang terpengaruh oleh posisi Bulan serta siang dan malam. Hormon tertentu produksinya dipicu oleh jam tubuh.


Demikian juga, sejenis bahan yang disebut hormon manusia atau nama khusus Opiods (Endorphin) lebih mudah dihasilkan ketika Ramadhan. Hormon ini memberikan efek lebih tenang bagi tubuh – hasilnya - menurunkan ketegangan, stress dan tekanan darah.


OTAK KITA YANG RUMIT.


Sejumlah dokter menjelaskan bahwa ilmu medis menghadapi kendala yang besar ketika berhadapan dengan pengobatan otak. Karena kerumitan organ ini maka hanya membolehkan cara tertentu untuk pengobatannya. Resep menggunakan obat-obat kimia atau narkotik sangat berbahaya. Satu-satunya cara yang aman dan masuk akal adalah berpuasa. Puasa dapat menyembuhkan atau membantu penyembuhan penyakit jiwa (mental disorder). Sakit kepala yang parah, daya ingat dan konsentrasi bisa terbantu penyembuhannya.


Namun, saya sering merasakan betapa lapar dan hausnya ketika lewat jam makan siang. Alamiah tentunya, menjadi lebih ngantuk, rasanya berpikir agak lambat. Bahkan, kadang-kadang sedikit pemarah.


Saya tahu benar, tujuan utama puasa adalah dimensi spiritual – Tuhan akan membalasnya nanti di kehidupan sesudah mati – tapi bagaimana ya? Kadang-kadang, tersiksa juga. Ho..ho…just a joke.


Oleh karena itu, saya begitu antusias untuk mempelajari artikel-artikel yang dikeluarkan oleh John Ratey, MD seorang psikhiatris dari Harvard Medical School, bagaimana ketika membatasi kalori - secara umum adalah puasa - dapat memperbaiki fungsi otak kita.


Ternyata ketika saya akan menanyakan dengan email kepada Dr. Ratey, bagaimana manfaatnya kalau seseorang puasa di bulan Ramadhan. Sudah ada jawaban yang telah diberikan kepada seseorang yang menanyakan hal yang sama di tahun 2006. Intinya, para peneliti telah mempelajari pada sejumlah orang sehat dalam kelompok kecil selama dan sesudah bulan Ramadhan, kemudian memonitor aktivitas otak melalui “Functional Magnetic Resonance Imaging” (fMRI). Para peneliti menyimpulkan semua individu secara konsisten memperlihatkan suatu pertambahan aktivitas pada “motor cortex” selama bulan Ramadhan.


Penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh saintis lainnya, termasuk Mark Mattsonn, Ph D, yang mengepalai neuroscience lab di NIH, National Insttitute On Aging. Matsoon telah mengerjakan penelitian yang sangat luar biasa, bagaimana puasa yang teratur mampu secara signifikan melindungi otak kita dari penyakit regeneratif seperti Alzhemeir atau Parkinson.


Artikel tahun 2003, Mattson dan kawan-kawan telah melaporkan pada percobaan tikus, dimana ada diet sejumlah kalori antara 30 % hingga 50 % dari kalori normal, menunjukkan bukan saja menurunkan denyut jantung per menit dan tekanan darah, tetapi juga membuat “lebih muda” otak, sesuai umur yang berhubungan dengan “ekspresi gen”.


Penelitian yang lebih jauh pada manusia baik di Amerika, Eropa, China dan Jepang – memakan makanan yang dibatasi dalam waktu berkala, misalnya puasa, “memungkinkan perobahan pada ekspresi gen yang membuat perobahan lebih adaptif pada sel-sel metabolism dan meningkatkan kemampuan tubuh untuk menurunkan tingkat STRESS”.


Aha..kalau begini sangat bijaksana jika bersungguh-sunguh puasa (shaum), dan saya tahu benar puasa dalam perspektif Islam bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga membiasakan diri untuk menghindari perbuatan-perbuatan buruk, tidak melakukan sex - antara waktu terbitnya fajar hingga Matahari terbenam dan banyak bersedekah.


Selamat ber-shaum bagi yang melakukannya.

Sabtu, 02 Juni 2012

Riwayat Hujatul al Imam Al-Ghazali

 

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.

 Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir.

Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, 

“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata,

 “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya.

 Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. 

Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. 

Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.

 Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. 

Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).


Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

 

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.

 Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” 

Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Karya-Karyanya*

*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204

Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:

  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.

  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.

  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.

  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.

  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. 

Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.

Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). 

Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.


(2) Mahakun Nadzar.

(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.

(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.

(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.

(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.

(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.

(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya,

 “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. 

Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.

(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.

(11) Qanun At Ta’wil.

(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.

(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.

(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.

(15) Ar Risalah Alladuniyah.

(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa.

 Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi.

 Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini.

 Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,

 “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar

Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

(18) Al Wasith.

(19) Al Basith.

(20) Al Wajiz.

(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. 

Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya).

 Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. 

Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929).

 Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri.

 Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

***

Senin, 30 April 2012

Dasar Lautan



"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)


Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV `Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.

Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.

Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak
kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.

 Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan
(surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan..."Artinya: "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.

Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" ertinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara.

Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih
untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.

Allahu Akbar...! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."



 Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat
sebuah "sungai" di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan. 


Kamis, 26 April 2012

Our Brain

 Kalbu atau Qalbu

“Qalbu atau Kalbu adalah Otak kedua manusia, ia bisa berpikir dan memahami. Kalbu adalah sistem yang independen, memiliki lebih 40 ribu sel syaraf (Heart Brain) yang mampu mengolah informasi yang masuk, baik dari mata, telinga atau indra yang lain. Ia, merupakan pasangan tandem Otak (Brain), dan  dominan dalam memberi masukan. Orang yang lalai (celaka) dijelaskan dalam Kitab Mulia, karena “Kalbunya tidak memahami”, pengolahan informasi (berpikir) yang tidak benar dan  kurang optimal.





Salah satu keunikan Kitab Mulia adalah, Kitab tersebut sangat menekankan pada penggunaan akal dan pikiran para pembacanya. Kita semua diminta untuk mempergunakan segenap potensi akal dalam proses berpikir. Bahkan, salah satu yang sering disesalkan oleh Kitab Mulia kepada para penentangnya (orang Kafir atau yang Menolak dan Penyembah Berhala di Mekkah, sebagai contoh), adalah frase pertanyaan yang sangat populer dikalangan cendekiawan Muslim : “ Mengapa engkau tidak berpikir? “A fa laa ta’qiluun?”. Ditempat lain, juga senada : “A fa laa tatafakaruun?” Mengapa engkau tidak merenung, tafakur, berpikir? Kata ‘aq’lu sendiri, menurut Dr Quraish Shihab, diulang dengan berbagai macam bentuk derivasinya lebih dari 200 ayat. Dari kata tersebut, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti akal pikiran.
Ada perbedaan, interpretasi kita pada umumnya, tentang akal! Kitab Mulia, ketika memerintahkan untuk berpikir, atau menggunakan segenap akalnya, yang dimaksud bukan saja dengan Otak dikepala (Brain), tapi juga dengan Kalbu (Qalbu). Bahkan kata Kalbu ini sangat dominan, diulang lebih dari 100 ayat – sedangkan kata An Nassiyah yang bisa dimaknai dengan Otak dikepala biasanya diterjemahkan dengan "Ubun - ubun", hanya 4 ayat – dan spesifik yang berarti Frontal Cortex atau Otak Depan hanya 1 ayat, yaitu disurat Al Alaq (Segumpal daging - pra embrio atau disebut juga Zigot). Esensinya, Kalbu yang dapat memahami (yaf qahuuna) dan yang dapat berpikir (ya’qiluuna) harus dipergunakan maksimal, ia adalah pasangan dari Otak (Brain) kita!
Luar biasa!

Apakah memang ada organ tubuh lain selain Otak yang dapat berpikir, dan mengolah informasi?

Kata Qalb arti harfiahnya adalah “bolak-balik”, yang bermakna tidak stabil. Kadang ia berniat baik dan kadang ia (lebih banyak) berniat buruk.

 Qalbu sangat vital dalam diri manusia. Nabi menjelaskan bahwa “ada sekerat daging (mudghah) – jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik, sebaliknya jika ia buruk, seluruh tubuh manusia akan berdampak buruk. Daging tersebut adalah Qalbu” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan “wadah” itu, dipahami dalam arti "alat atau organ tubuh" misalnya, dalam wahyu berikut ini: “Mereka mempunyai Kalbu, tetapi tidak digunakan untuk memahami “(Qs, 007: 179). Perhatikan kata “memahami (yaf qahuuna)” – kita bisa memahami jika ada proses berpikir. Kita berpikir, jika ada informasi yang masuk, apakah melalui penglihatan, mendengar atau merasakan sesuatu. Dalam ayat lain ditekankan: “ Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi Kalbu yang berada di dalam dada” (Qs, 22: 46).  Bukan matanya yang buta, sehingga tidak bisa memahami, tetapi Kalbunya yang tidak berfungsi optimal. Kita diberitahu pula, bahwa Kalbu tersebut ada didalam dada!

Pertanyaannya, Kalbu siapa yang buta atau tidak memahami? Itulah Kalbu-kalbu orang-orang yang tidak mau berpikir secara optimal, orang-orang yang menolak risalah Illahi yang dibawa oleh para Rasul, para Penyembah Berhala walaupun sudah diberi tahu itu salah tetap saja tidak berubah, orang yang sombong yang mengabaikan informasi yang benar, orang yang lebih dekat kepada kehidupan dunia dan orang yang melampaui batas (pembunuh , menjajah, intimidasi, menindas, merampok dan pemerkosa - misalnya)!
Dengan demikian , Kalbu adalah nyata – ia “sekerat daging” , sebuah alat dan adanya di dalam dada. Organ tubuh manakah itu?
Keterangan berikut, menjelaskan bahwa Kalbu manusia di dunia dan di akhirat (Jannah) berbeda. Didalam Surga atau Jannah, Kalbu manusia tidak memiliki sifat-sifat buruk, seperti iri hati, dendam dan sifat buruk lainnya. Lihat saja ayat ini: “ Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (sofa panjang dan lebar)”‘(Qs,15: 47).

Keterangan tambahan, bahwa “Tuhan hanya menuntut tanggung jawab niat di-Qalbu kamu “( Qs, 2: 225).  Maknanya, Qalbu sangat dominan untuk menentukan seseorang itu baik atau buruk, salah satunya – karena niat seseorang disimpan dalam Kalbunya. Tetapi yang berhubungan dengan “behaviour” atau sifat orang seperti para “pendusta” dan “pendurhaka” akan tanda-tanda Kekuasaan Tuhan adanya di “An Naashiyah” (Qs, 96:16). Biasanya diterjemahkan dengan “ubun-ubun”. Tentu saja keliru! Ubun-ubun, hanya dimiliki oleh bayi hingga berumur 2 tahun, tidak dimiliki oleh orang dewasa. Keterangan spesifik ayat tersebut, berhubungan dengan kisah Abu Jahal, tokoh Mekkah yang sangat durhaka – penentang Nabi berniat menculik dan membunuh. Secara umum, ini yang luar biasa, memberi isyarat kepada pembaca, bahwa “karakter manusia” disimpan di sekitar dahi diatas kepala. Dalam bahasa sains itulah “Otak depan” atau “Frontal Cortex”. Salah satu fungsi Frontal Cortex, menurut “neuroscience” adalah menyimpan informasi tentang “motivation & behaviour”, selain fungsi “planning” dan “decision making process” atau CEO (Chief Executive Organization).  

Bagi orang –orang yang sering mengabaikan Kalbunya, tidak dimanfaatkan secara optimal, maka “Tuhan menutup Kalbu dan pendengaran mereka” (Qs, 02:07). Maknanya, apakah diberi petunjuk atau tidak oleh Tuhan, sama saja – tetap saja tidak percaya (beriman). Istilah awam – “ Masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan”, informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebenaran tidak diolah sebagaimana mestinya, akibatnya hanya angin lalu saja. Inilah yang disebut “Kalbu yang tidak memahami” atau “lahum quluubul laa yaf qahuuna biha” . Contoh nyata, adalah para penentang Nabi dan Utusan Tuhan disegala jaman – walaupun sudah berkali-kali diberi informasi, dengan segala mukjizatnya, tetap saja mereka kafir (menolak) dan melanjutkan tradisi mereka, meyembah patung batu, yang tidak dapat memberikan manfaat apa-apa. Berbeda dengan Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, memberikan sinar Matahari, udara, pengaturan Matahari dan Bulan, atmosfir, tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak. Tuhan Pencipta Manusia dan golongan al Jin, yang mendidik dan mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Qs, 96, 1-5).

Perlu ditambahkan bahwa Kitab Mulia, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, juga biasa menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya saja, misalnya: ..."Mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (Qs, 02: 19), yang sebenarnya dalam arti ujung jari-jari. Demikian juga kata “mudghah” atau “sekerat daging” untuk Kalbu, bisa berarti hanya bagian kecil saja dari sekerat daging tersebut.

Banyak Ulama atau para pendakwah Muslim, memaknai Kalbu tersebut adalah Hati (Hepar atau Lever), tentu saja ini salah. Jika kita baca Kitab Mulia edisi bahasa Inggris (terjemahan). Kata Kalbu diterjemahkan dengan kata “Heart” atau Jantung, dalam bahasa Ibrani “qalb” artinya “qeld” dan bahasa Urdhu “qelde” atau “Jantung”. Kita tahu bahwa Jantung ini ada didalam dada. Masalahnya, bagian mana Jantung yang merupakan Kalbu?

Jadi apakah Kalbu atau Qalbu itu??


YOUR HEART HAS A BRAIN.

Heart Brain, Qalbu Sistem syaraf independen, terlihat seperti noktah putih.
Nerosains sudah maju sedemikian rupa, hingga berhasil menemukan bahwa Jantung manusia memiliki Otak tersendiri, itulah yang disebut “sistem syaraf yang independen”, hanya terdiri dari minimal 40.000 neron atau sel syaraf (bandingkan dengan triliunan sel syaraf yang ada di Otak diatas kepala kita). Para saintis, seperti Prof. Dr J Andrew, Dr Swartz dan ilmuwan Dr. Mohamed Osman Salem ilmuwan  Inggris sepakat mengenai itu.

Dibawah ini adalah kutipan pernyataan Dr Schwartz tahun 2007, Peneliti Sel Syaraf  di UCLA, Brain Research Inststitute
 A second brain in the heart is now much more than a hypothesis. Today new science has confirmed that the heart is involved in our feelings, that it is intelligent and that it  canlead the brain in our interpretation of the world around us.
Neuroscientists discovered exciting new information about the heart that makes us realize it's far more complex than we'd ever imagined. Instead of simply pumping blood, it may actually direct and align many systems in the body so that they can function in harmony with one another.
We have found that the heart has its own independent nervous system – a complex system referred to as "the brain in the heart." There are at least forty thousand neurons (nerve cells) in the heart – as many as are found in various subcortical centers of the brain.”

Apa artinya?

Artinya, Jantung kita memiliki Otak, yang disebut Otak Jantung, sebagian ilmuwan menyebutnya Heart Brain atau Cardiac Ganglia – sedang dalam bahasa Kitab Mulia, itulah Kalbu yang ada didada manusia.!
Sudah lama Kitab Mulia memberi isyarat, 1400 tahun yang lalu,  bahwa yang namanya Kalbu memiliki otoritas sendiri, bebas (independent) dan mekanisme kerjanya terpisah dari jazad (organ tubuh) yang lain, “….dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan Kalbunya……” (Qs, 08:24).
Lebih lanjut, Otak Jantung atau Kalbu ini berkomunikasi dengan Otak dan tubuh manusia dengan 4 cara:
  1. Melalui transmisi syaraf berupa impuls listrik (neurologic)
  2. Melalui produksi hormon dan pemancar neuro (biokomia)
  3. Melalui gelombang tekanan darah (biofisik)
  4. Luar biasa adalah, juga melalui gelombang elektromagnit (energi). 
Dengan cara-cara diatas dalam berkomunikasi, Otak Jantung memiliki pengaruh yang penting dalam fungsi Otak dan semua sistem tubuh.

Jadi sekali lagi, yang dimaksud Kalbu adalah Otak Jantung (Heart Brain) yang memiliki fungsi antara lain:

Pertama, mengelola, mengatur, dan mengendalikan semua informasi dalam bentuk rasa yang tidak terstruktur (emosi, rasa, intuisi, ilham, (keyakinan) iman dan rasa takut kepada Tuhan atau takwa). Dalam bentuk fisik - minimal 40.000 sel syaraf (neuron) diatas jantung (dinding), seperti cendawan berserabut (dari gambar dasar biru terlihat seperti noktah putih), banyak "bulu halus“ – berfungsi sebagai radar atau transmitter yang dapat menerima dan memancarkan sinyal radio dibawah frekensi 40 Hzt.Maaf ya...karena hak cipta, detil gambar "sistem syaraf independen" tersebut tidak bisa ditampilkan.

Kedua, bersama Otak (Brain), berpasangan tandem, bekerja sama dalam memutuskan berbagai pilihan dan tindakan manusia.

Ketiga, menyimpan informasi, yang disimpan adalah sebuah “pemahaman” atau “kesadaran” - yang dominan mempengaruhi Otak. Suatu bentuk “kepribadian (personality)”, termasuk, misalnya, kasih sayang atau cinta (love) dan “benci” (hate) kepada seseorang atau kebencian (hatred) kepada suku atau agama tertentu. Tentu saja,  termasuk diantaranya, ‘believe”  (iman) dan “faith” (keyakinan, takwa).

Keempat, mengatur detak Jantung dan produksi Hormon, dalam bentuk komunikasi dengan Otak dan tubuh lainnya.

Bagaimanapun juga, fungsi analisa, perencanaan, proses pengambilan keputusan dan pusat tindakan adanya di Otak Depan. Namun pasangannya ada di Kalbu, karena Kalbu menyimpan informasi tentang niat, dan kepribadian seseorang – apakah itu baik atau buruk. Kepribadian inilah yang ditransfer ke Otak Depan dan disimpan disana sebagai bentuk, Motivasi dan Karakter (Motivation & Behaviour), yang sangat mempengaruhi berbagai keputusan Otak Manusia.
Dengan demikian, yang disebut akal dan berpikir oleh Kitab Mulia, adalah kerja sama antara Otak dan Kalbu, yang saling melengkapi, seperti sepasang suami-istri. Makin tinggi Kecerdasan Kalbu seseorang, ia semakin ramah, sabar, tidak sombong, santun, senang membantu orang lain, pemaaf, rendah hati dan jauh dari perilaku buruk. Semakin beriman semakin cerdas kalbunya! Kalbu yang cerdas sangat membantu Otak untuk menentukan pilihan yang terbaik.
Oleh karena itu, kita bisa memahami, berkali-kali Kitab Mulia menyesalkan orang-orang yang tidak berpikir dengan baik. Karena mereka memiliki Kalbu tapi tidak “Memahami”. Memiliki mata tapi tidak melihat dan memiliki telinga tapi tidak mendengar – itulah Kecerdasan Kalbu yang rendah – disebut orang yang lalai (Qs, 02:179). Intinya, mereka mendapatkan informasi, tapi tidak bisa mengolah informasi tersebut dengan benar. Karena, Kalbunya tertutup oleh kepribadian yang salah, sombong, meremehkan orang lain, punya kepentingan yang berlawanan, dan perbuatan-perbuatan yang buruk lainnya.

Brain and Heart Brain
 Dibawah ini keterangan pokok, yang menegaskan fungsi Kalbu dalam bahasa agama, misalnya: Kalbu yang tidak mau memahami (berpikir) akan menutup dengan sendirinya (Qs, 30:59), karena yang diusahakannya buruk akan menutup Kalbu mereka (Qs, 83:14). Tuhan memalingkan Kalbu (Qs,06:110), karena perbuatannya, Kalbu dikunci (Qs, 07:100), Tuhan mengunci Kalbu orang-orang yang melampaui batas (Qs,10:117). Orang yang terbuka Kalbunya dengan orang yang membatu Kalbunya tidak sama (Qs, 39 :22). Seseorang yang dikunci hatinya tidak mendapat petunjuk lagi (Qs, 7:100) – karena sama saja, diberi petunjuk atau tidak mendapat petunjuk.
Jantung berfungsi bukan hanyasebagai mesin pompa darah saja, tapi ia juga memiliki sistem syaraf yang bebas, lebih dari 40.000 neuron. Itulah Otak Jantung atau Kalbu kita, yang fungsinya sangat dominan dalam menentukan apakah diri masing-masing manusia akan masuk ketempat yang “ Buruk” atau ke tempat yang “Indah” pada kehidupan kedua. Itulah Kalbu - pergunakanlah untuk berpikir sebaik-baiknya.   Dengan demikian, Kalbu bukanlah organ tubuh Hati (Hepar, Lever), ia adanya di Jantung (Heart) didalam dada (shadr), terdiri dari sistem independen, lebih dari 40.000 sel syaraf yang mampu mengolah informasi  (Heart Brain) - ia berpikir dan memahami.

A falaa ta’qiluun?
Mengapakah kamu tidak berpikir dengan kedua Otakmu?

TASAWUF

 

Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Tuhan adalah asalusul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada- Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya. Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba. Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" ( similarity in uncomparability).

Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya" (). Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan sufi —dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog- — beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya. Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa 'Alim (subjek yang mengetahui). (subjek yang mengetahui). Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya 'Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian karena bukankah namanama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri? Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu. Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya? Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu. Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin. Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh. Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).

Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin. Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan de - ngan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai ham ba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.

Allah SWT sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal. Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.

Allah SWT sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya. Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugrah (isti'anah).