Selasa, 23 April 2013

Metode

Metode Yang Benar Dalam Memahami Islam
Adalah suatu fenomena yang kita saksikan dan tidak bisa dipungkiri bahwasanya ummat Islam sudah terpecah belah menjadi beberapa golongan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengabarkan bahwasanya ummatnya akan terpecah menjadi 73 golongan (dan ini sudah terjadi), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya.

Akan tetapi, ketika ditanyakan kepada golongan-golongan tersebut, mereka menjawab bahwasanya mereka berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah bahkan masing-masing golongan menyatakan golongannyalah yang benar sedangkan yang lainnya salah/sesat, bersamaan dengan itu kita ketahui dan saksikan bahwa golongan-golongan tersebut satu sama lainnya saling bertentangan, bermusuhan bercerai-berai dan tidak berada dalam satu manhaj yang menyatukan mereka. Hal ini seperti dikatakan di dalam sya'ir: "Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila akan tetapi Laila tidak mengakuinya

Untuk itu satu hal yang pasti bagi kita bahwasanya kebenaran itu hanya satu dan tidak berbilang yaitu golongan yang benar dan selamat hanya satu yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya (salaf) sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam haditsnya yang mutawatir. Dengan kata lain golongan yang selamat tersebut adalah orang-orang yang memahami dinul Islam dengan pemahaman salafush shalih (manhaj salaf).

Sedangkan manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in dan tabi'ut tabi'in di dalam memahami dinul Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut Salafy atau As-Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun.

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: "As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf." (Siyar A'lamin Nubala` 6/21).

Kemudian di sini akan dikemukakan sebagian dalil-dalil yang menyatakan bahwa manhaj yang benar dalam memahami agama adalah manhaj salaf serta kewajiban bagi kita untuk mengikuti manhaj tersebut, yaitu:

1. Firman Allah subhanahu wa ta'ala :"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat." (Al-Fatihah:6-7).

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: "Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya?, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi'ah)." (Madarijus Salikin 1/72).

Hal ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami agama ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian." (Al-Baqarah:143).

Allah telah menjadikan mereka orang-orang pilihan lagi adil, mereka adalah sebaik-baik ummat, paling adil dalam perkataan, perbuatan serta keinginan mereka, karena itu mereka berhak untuk menjadi saksi atas sekalian manusia, Allah mengangkat derajat mereka, memuji mereka serta menerima mereka dengan penerimaan yang baik.
Dengan ini jelaslah bahwasanya pemahaman para shahabat merupakan hujjah atas generasi setelah mereka dalam menjelaskan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah.

3. "Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Ali 'Imran:101).

Para shahabat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Allah, karena Allah adalah pelindung bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada (agama)-Nya sebagaimana firman Allah: "Dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah pelindung kalian maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (Al-Hajj:78).
Dan telah dimaklumi bahwasanya perlindungan dan pertolongan Allah kepada para shahabat sangat sempurna, hal tersebut menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian dari Allah.

4. "Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah." (Ali 'Imran:110).
Allah telah menetapkan atas mereka keutamaan atas sekalian ummat, hal tersebut karena keistiqamahan mereka pada segala hal, karena mereka tidak akan melenceng dari jalan yang lurus, Allah telah bersaksi atas mereka bahwasanya mereka menyuruh kepada setiap yang ma'ruf, mencegah dari setiap kemunkaran, berdasarkan hal tersebut merupakan suatu keharusan bahwasanya pemahaman mereka merupakan hujjah bagi generasi setelahnya hingga Allah menetapkan putusannya.

5. "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa`:115).
Berkata Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi: "Para 'ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi pertama dari ummat ini,?." (Al-Mirqat Fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37).
Syaikhul Islam berkata: "Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin-red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran." (Majmu' Fatawa 7/38).

Maksud ayat tersebut, bahwasanya Allah mengancam siapa saja yang mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (dengan neraka Jahannam), maka jelaslah bahwasanya mengikuti jalannya para shahabat dalam memahami syari'at Allah wajib hukumnya, sedangkan menyalahinya merupakan suatu kesesatan.

6. "Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah:100).

Makna dalil tersebut, bahwasanya Tuhan manusia memuji orang-orang yang mengikuti manusia terbaik, maka diketahui dari hal tersebut bahwasanya jika mereka mengatakan suatu pandangan kemudian diikuti oleh pengikutnya pantaslah pengikut tersebut untuk mendapatkan pujian dan ia berhak mendapatkan keridhaan, jika sekiranya mengikuti mereka tidak membedakan dengan selain mereka maka tidak pantas pujian dan keridhaan tersebut.

7. "Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa." (Al-Furqan:74).
Maka orang-orang bertaqwa secara keseluruhan berimam kepada mereka. Adapun taqwa merupakan kewajiban, di mana Allah dengan gamblang menyebutkannya dalam banyak ayat. Tidak memungkinkan untuk menyebutkannya di sini, maka jelaslah bahwa berimam kepada mereka wajib, adapun berpaling dari jalan mereka akan menyebabkan fitnah dan bencana.

8. "Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku." (Luqman:15).
Seluruh shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka Allah memberikan hidayah kepada mereka dengan perkataan yang baik, serta berbuat amal shalih.
Maka merupakan suatu kewajiban untuk mengikuti manhaj para shahabat dalam memahami agama Allah baik yang ada dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah.

9. "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah:24).
Sifat-sifat yang disebutkan pada ayat tersebut di atas adalah berkenaan dengan sifat-sifat para shahabat Nabi Musa 'alaihis salam, Allah mengabarkan bahwasanya Dia menjadikan mereka sebagai imam yang diikuti oleh orang-orang sesudah mereka karena kesabaran dan keyakinan mereka, jika demikian kesabaran dan keyakinan merupakan jalan untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam agama.

Dan sangat dimaklumi bahwasanya shahabat-shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut daripada ummat Nabi Musa, mereka lebih sempurna keyakinan dan kesabaran dari segenap ummat, maka mereka lebih berhak untuk menjadi imam dan ini merupakan hal yang paten berdasarkan persaksian dari Allah dan pujian Rasulullah atas mereka.

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya." (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu).
Allah telah melihat hati-hati para shahabat Rasulullah di mana Dia mendapatkannya sebaik-baik hati para hamba setelah hati Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Dia memberikan kepada mereka pemahaman yang tidak dapat dijangkau oleh generasi berikutnya, karena itulah apa yang dalam pandangan shahabat merupakan suatu kebaikan demikian pula dalam pandangan Allah dan apa yang dalam pandangan shahabat jelek, jelek pula dalam pandangan Allah.

2. Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu berkata: "Kami melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah, lalu kami berkata: "Sekiranya kita tetap di sini hingga kita melaksanakan shalat 'isya bersama beliau", kemudian kami duduk, lalu beliau mendatangi kami seraya berkata: "Kalian masih tetap di sini?" kami berkata: "Ya Rasulullah, kami shalat bersama Engkau, kemudian kami berpendapat: kita duduk di sini hingga melaksanakan shalat 'isya bersama Engkau." Beliau berkata: "Ya". Abu Musa berkata: "Kemudian beliau mengangkat kepalanya ke langit dan beliau sering melakukan hal tersebut, lalu beliau bersabda: "Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang-bintang telah redup, diberikan kepada langit persoalannya dan Aku adalah penjaga bagi shahabat-shahabatku, jika aku telah tiada maka persoalan akan diserahkan kepada shahabat-shahabatku, dan shahabat-shahabatku adalah penjaga ummatku, jika shahabat-shahabatku telah tiada maka persoalan diserahkan kepada ummatku". (HR. Muslim).

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, tidak dapat menyamai (pahala) satu mud infaq mereka, tidak pula setengahnya." (Muttafaqun 'alaih).

4. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham?" (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainnya dari Al-'Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no. 2455).

5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Terus-menerus ada sekelompok kecil dari ummatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu." (Muttafaqun 'alaih dari Tsauban radhiyallahu 'anhu, dan ini adalah lafazh Muslim).

6. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "?Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: "Siapa dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya)." (HR. At-Tirmidzi dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash).

Sedangkan ucapan para 'ulama akan wajibnya berpegang dengan manhaj salaf adalah:
Al-Imam Al-Auza'i berkata: "Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah)." (Asy-Syari'ah, Al-Ajurri hal. 63).

Al-Imam As-Sam'ani berkata: "Syi'ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj as-salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama)." (Al-Intishar li Ahlil Hadits, Muhammad bin 'Umar Bazmul hal. 88).

Al-Imam Al-Ashbahani berkata: "Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi'in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya." (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 2/437-438).

Al-Imam Asy-Syathibi berkata: "Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan." (Al-Muwafaqat 3/284).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar." (Majmu' Fatawa 4/155). Beliau juga berkata: "Bahkan syi'ar ahlul bid'ah adalah meninggalkan manhaj salaf." (Majmu' Fatawa 4/155).

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dinul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin Ya Rabbal 'Alamin. Wallahu a'lamu bish shawab.

Jumat, 29 Maret 2013


MAKNA TAUHID
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
Pentingnya mempelajari tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

Rabu, 27 Maret 2013

Di mana Allah?

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji hanya kepunyaan Allah, semoga selawat dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad ε, tiada lagi Nabi sesudahnya .

Di sini akan disertakan beberapa dalil tentang Di mana ALLAH menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Sekarang ini ramai yang memperkatakan tentang Allah swt tanpa Ilmu. Yang pastinya selamat ilmu seseorang itu mesti berlandaskan Allah(Al-Quran) dan RasulNya(Hadis). Insyaallah.


Di mana ALLAH?


Terdapat golongan yang menyerupakan zat, nama-nama dan sifat Allah dengan makhluknya. Mereka meyakini Allah berada di mana-mana yang meliputi semua benda. Begitulah pengakuan oleh golongan yang menyeleweng akidahnya.

Rujukan:
Lihat Risalah Salafiah.. halaman 129 Muhammad bin Ali As-Syaukani.

Hendaklah kita memahami cara Akidah sebagaimana pemahaman para sahabat Rasulullah kerana mereka mengetahui bila, di mana dan mengapa wahyu turun. Mereka berilmu tentang agama, tiada syubahat terutama dalam memahami zat, nama dan sifat Allah swt. Akidah mereka diakui oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya:

“Sebaik-baik manusia yang dikurunku, kemudian sesudahnya (tabi’in), kemudian yang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in)”.

Rujukan:
Bukhari

Ayat pertama:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَىٰ ثَلَـٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَآ أَدْنَىٰ مِن ذَ‌ٰلِكَ وَلَآ أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا۟ ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧

“Tidakkah kamu perhatikan seseungguhnya Allah mengetahui apa yang di langit dan yang di bumi. Tiada perkataan rahsia antara tiga orang, melainkan dialah yang keempat. Dan tiada lima orang melainkan dialah yang keenam. Dan tiadalah perkataan antara yang kurang dari itu atau yang lebih banyak melainkan dia bersama mereka manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada Hari Kiamat apa yang yelah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Rujukan:
Surah Al-Mujadilah ayat 7

Penjelasan:

Menurut Imam Ahmad:

Dimaksudkan Allah bersama hambaNya ialah IlmuNya bukan ZatNya. Katanya lagi “Dimulakan ayat ini dengan memperkatakan Ilmu dan diakhiri juga dengan memperkatakan tentang Ilmu”.

Ibn Jarir dari Ad-Dahak menjelaskan:

“Dia di atas ‘ArasyNya dan yang bersama dengan mereka ialah IlmuNya. Bahawasanya Dia menyaksikan mereka dengan IlmuNya dan Dia di atas ‘ArasyNya”.

Rujukan:
Lihat As-Syari’ah Halaman 298 al-Ajari. Ditahkiq oleh Hamid

Imam Ibn Kathir rahimahullah menjelaskan:

Oleh kerana yang demikian, telah menceritakan bukan seorang malah secara Ijmak atas kesepakatan mereka bahawa yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah Allah bersama seseorang dengan IlmuNya”.

Rujukan:
Lihat: Tafsir Ibn Katsir, jilid 4 halaman 322

Imam Ibn Kathir rahimahullah menjelaskan lagi:

“Tidak tersembunyi dari pengetahuanNya segala apapun perkara (urusan) mereka, oleh kerana itu Allah swt berfirman: Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada Hari Kiamat apa yang mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Rujukan:
Lihat: Tafsir Ibn Katsir, jilid 4 halaman 322

Ayat Kedua:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ

“…Dia bersama kamu di mana saja kamu berada....”.

Rujukan:
Surah Al-Hadid ayat 4

Penjelasan:

Menurut Ulama’ Ahli Sunnah Wal-Jama’ah:

“Allah bersama dengan mereka kudrat, pendengaran, pentadbiran, kerajaan atau dengan makna kerububiyahanNya, sedangkan Dia di Atas ‘Arasy dan di atas segala makhluk-makhlukNya.

Rujukan:
Lihat: Al-Musla Fi Sifatullah wa AsmaulHusna Halaman 58 Uthaimin

Sufyan At-Thauri manafsirkan melalui hadis riwayat Imam Bukhari:

“Sesunguhnya diayat tersebut ialah yang bersama kita IlmuNya sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari”.

Rujukan:
(1) Bukhari,
(2) Lihat As-Syari’ah hlm 298, Al-Ajiri kitabnya jld 1 hlm 194

Berkata Az-Zahabi

“Telah diriwayatkan bukan sahaja hanya dari seorang, dari Ma’dan berkata: Aku telah bertanya kepada Sufyan At-Thauri tentang firman Allah (dia dimana sahaja kamu berada) beliau berkata: (Yang bersama ialah) IlmuNya”.

Rujukan:
Lihat: Bisifat Rabbul’alamin halaman 81, Ridza bin Nu’san Mu’ti

Ibn Jarir menafsirkan:

“Dia melihat kamu wahai manusia di mana saja kamu berada, Dia mengetahui tentang kamu dan mengetahui segala amal kamu, Dia di atas ArasyNya dan ArasyNya di atas langit ke tujuh”.

Rujukan:
Lihat: Tafsir Tabri jilid 27 halaman 125

Berkata Abu Hayyan Al-Andelusi, At-Thauri dan Al-Qurtubi:

“Dia bersama kamu, yang bersama IlmuNya dan KudrahNya”.

Rujukan:
(1) Lihat: Al-Bahr al-Muhit jld 9 halaman 217,
(2)Tafsir Qurtubi jld 18 halaman 137

Berkata Al-Alusi:

“Semua ayat (yang memperkatakan di mana Allah) pembuktian Ilmu Allah meliputi mereka dan menggambarkan bahawa tidak terlepasnya mereka dari Ilmu Allah walaupun di mana mereka berada.

Rujukan:
Lihat: Bisifat Rabbul’alamin halaman 82 Ridza bin Nu’san Mu’ti

Ayat Ketiga:

وَهُوَ ٱللَّهُ فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَفِى ٱلْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ ﴿٣

“Dan dialah Allah (disembah), dilangit dan di bumi, mengetahui apa yang kamu rahsiakan dan apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu usahakan”.

Rujukan:
Surah Al-An’am ayat 3

Penjelasan ayat

Berkata Al-Ajiri yang membantah fahaman Jahmiyah, beliau berkata:

“Berkenaan apa yang menyelubungi mereka yang tidak berilmu tentang firman Allah yang lalu: Ini pada keseluruhannya memerlukan penjelasan ahli Ilmu dan ahli haq, yang mana (Dialah Allah yang disembah), baik oleh mereka yang berada di langit dan di bumi, Dia mengetahui apa yang kamu rahsiakan dan yang kamu lahirkan dan mengetahui apa yang kamu usahakan, iaitu sebagaimana oleh ahli kebenaran: Dialah yang Mengetahui rahsia kamu sebagaimana yang didatangkan beritanya sunnah-sunnah bahawasanya Allah di atas ArasyNya dan IlmuNya meliputi seluruh makhluknya. Dia mengetahui apa yang mereka rahsiakan dan yang mereka lahirkan, Mengetahui perkataan yang terang dan mengetahui yang tersembunyi”.

Rujukan:
Lihat: Bisifat Rabbul’alamin hlm 83-84


ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARASY(di atas langit)


Terdapat banyak dalil-dalil dari Al-Quran mengatakan Zat Allah di atas ‘Arasy bukan di mana-mana. Allah swt telah berfirman:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ ﴿٥

“Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas ‘ArasyNya”.

Rujukan:
Surah Taaha ayat 5

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang mencipta langit dan bumi dalam enam masa. Lalu bersemayam di atas ‘Arasy”.

Rujukan
Surah Al-A’raaf ayat 54

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang mencipta langit dan bumi dalam enam masa. Lalu bersemayam di atas ‘Arasy”.

Rujukan:
Surah Yunus ayat 3

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy ,

Rujukan:
Surah Al-Furqan ayat 59

ٱللَّهُ ٱلَّذِى رَفَعَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍۢ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ

“Allah Zat yang mengangkat langit tanpa tiang yang kamu lihatnya kemudian ia bersemayam di atas ‘ArasyNya”.

Rujukan:
Surah Ar-Ra’d ayat 2

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ مَا لَكُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِىٍّۢ وَلَا شَفِيعٍ ۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ ﴿٤

“Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘ArasyNya. Tidak ada bagi kamu selain daripadaNya penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak berfikir”.

Rujukan:
Surah As-Sajadah ayat 4

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ

“Dialah yang telah menjadikan langit dan bumi dalam enam hari (masa) kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy”.

Rujukan:
Surah Al-Hadid ayat 4

ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ فَإِذَا هِىَ تَمُورُ ﴿١٦

“Apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit bahawa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu”.

Rujukan:
Surah Al-Mulk ayat 16

يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍۢ كَانَ مِقْدَارُهُۥٓ أَلْفَ سَنَةٍۢ مِّمَّا تَعُدُّونَ ﴿٥

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.

Rujukan:
Surah As-Sajdah ayat 5

إِذْ قَالَ ٱللَّهُ يَـٰعِيسَىٰٓ إِنِّى مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَىَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوْقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَـٰمَةِ ۖ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat.

Rujukan:
Surah Ali Imran ayat 55

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ۩ ﴿٥٠

“Mereka takut Tuhan mereka di atas mereka (di langit)”.

Rujukan:
Surah An-Nahl ayat 50

Ibn Abbas, Ad-Dahhak, Malik, Sufiyan ath-Thauri dan ramai lagi dikalangan ulama’ salaf muktabar berkata : “Dia (Allah) bersama kamu: Iaitu yang bersama kamu ialah IlmuNya” Dijelaskan juga disemua kitab-kitab Allah terutamanya Al-Quran, di sunnah RasulNya serta ijma’ ulama’ bahawa Allah swt di langit dan bersemayam di atas ‘ArasyNya”.

Rujukan:
Lihat: Bisifat Rabbul’alamin

Berkata Abu Sa’id Uthman Ad-Darimi:

“Barangsiapa tidak melahirkan ibadahnya dan imannya kepada Allah yang bersemayam di atas ‘ArasyNya dan berada di atas langit terpisah dari makhlukNya, maka sesungguhnya dia telah menyembah selain Allah dan ia tidak mengetahui di mana Allah”

Rujukan:
Lihat: Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah Wal Jahamiyah halaman 53

Abdullah Bin Al-Mubarak berkata:

“Kami mengetahui bahawa Ar-Rabb (Allah) berada di atas langit ke tujuh, bersemayam di atas ‘ArasyNya, terpisah dari makhlukNya. Kami tidak mengatakan seperti perkataan kaum Jahamiyah bahawa Allah berada di sini, sambil menunjuk tangannya ke bawah”

Rujukan:
Lihat: Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah Wal Jahamiyah halaman 50

Berkata Ibnu Khuzaimah:

“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahawa Allah berada di langit, di atas ‘ArasyNya, terpisah dari makhlukNya, maka dia wajib disuruh bertaubat, jika ia enggan bertaubat maka dipenggal lehernya kemudian dibuang ke tempat pembuangan sampah agar baunya tidak mengganggu Ahli kiblat dan ahli zimmah”.

Rujukan:
Lihat: Majmu’ Fatawa 5/52 Ibn Taimiyah dan lihat: Al-Hamawiyah halaman 117

Rasulullah saw bersabda:

“Ya Tuhan kami! Tuhan yang di langit, Engkau mensucikan namaMu, urusanMu yang di langit dan di bumi. Sebagaimana halnya rahmatMu di langit itu, maka jadikanlah pula rahmatMu itu di bumi. Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan kami. Turunkanlah satu rahmat dari antara rahmatMu dan suatu kesembuhan dari kesembuhan yang dating dariMu atas penyakit ini, hingga benar-benar sembuh”.

Rujukan:
(1) Abu Daud no 2892,
(2) Ahmad 6/21 (Hadis Hasan)

Bersabda Rasulullah saw:

'Arasy itu berada di atas air dan Allah berada di atas ‘Arasy. Tidak satupun dari amal kamu yang tersembunyi dari pengetahuanNya. Diriwayat lain: Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Rujukan:
(1) Abu Daud,
(2) Abdullah bin Ahmad,
(3) Tabrani
(4) Baihaqi (Hadis hasan, sanadnya soheh)

Rasulullah bersabda lagi:

“Tidak kamu percaya kepada aku? Aku di percayai oleh yang di langit”

Rujukan:
Bukhari no 4351

Dikuatkan lagi dengan Hadis:

“Sesungguhnya Allah menulis ketentuan yang di sisiNya di atas ‘Arasy”.

Rujukan:
(1) Bukhari
(2) Muslim

Menurut Al-Baghawi dinukil dari Ibnu Abbas dan para mufassir salaf:

Apabila memperkatakan di mana Allah, mereka hanya berpegang pada lahir lafaz “Istawa “bersemayam di atas ‘Arasy dan ‘ArasyNya di langit”. Mereka menyerahkan kepada Ilmu Allah bagaimana keTinggian Allah yang sebenarnya.

Rujukan:
Lihat Fi sifatullah wa’askaahulhusna halaman 58. Uthaimin

Tidak boleh kita samakan Allah dengan makhlukNya. Kita imani sahaja apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt tentangNya. Sebagaimana FirmanNya:

وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ ﴿٤

“Dan tidak ada seorang pun yang setara denganNya”.

Rujukan:
Surah Al-Ikhlas ayat 4


ALLAH SWT MAHA TINGGI


Banyak dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadis-Hadis yang soheh bahawa Allah swt sentiasa berada dalam ketinggian daripada segala-galanya. Sebagaimana Firman Allah:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ ﴿٢٥٥

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung”.

Rujukan:
Surah Al-Baqarah ayat 255

سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى ﴿١

“Sucikanlah nama Rabbmu (Tuhanmu) Yang Paling Tinggi”.

Rujukan:
Surah Al-A’la ayat 1

إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّۭا كَبِيرًۭا ﴿٣٤

“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Besar”

Rujukan:
Surah An-Nisa’ ayat 34

عَـٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ ٱلْكَبِيرُ ٱلْمُتَعَالِ ﴿٩

“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Tinggi lagi Maha Agung”

Rujukan:
Surah Ar-Ra’d ayat 9

وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ ﴿٢٣

“Dan Dialah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Rujuakan:
Surah Saba’ ayat 23

ٱللَّهُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ ﴿٣

“Sesungguhnya Dia Maha Tinggi dan Bijaksana”.

Rujukan:
Surah Asy-Syura ayat 3


HADIS SOHEH YANG MENJELASKAN TENTANG
KETINGGIAN ALLAH SWT



“Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat memukul sayap-sayapnya kerana patuh akan firmanNya, seakan-akan terdengar seperti gemerincing rantai di atas batu rata, hal itu menakutkan mereka (sehingga mereka jatuh pengsan kerana takut). Ketika dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata: Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu? Mereka menjawab: Firman Al-Haq yang benar dan Dialah yang Maha Tinggi dan Maha Besar”.

Rujukan:
(1) Bukhari
(2) Ibnu Majah

Bersabda Rasulullah saw:

Hati-hatilah kamu dari doa orang yang teranaiya, kerana sesungguhnya doa mereka naik kepada Allah seperti bunga api. Pada lafaz lain: naik ke langit…”

Rujukan:
(1) Hakim,
(2) Ad-Darimi
(3) Az-Zahabi

Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda semasa berkhutbah di hari ‘Arafah:

“Apakah aku sudah sampaikan (risalahku)? Para sahabat menjawab: Ya! Kemudian Rasulullah mengisyaratkan jari telunjuknya ke langit lalu bersabda: Ya Allah saksikanlah”.

Rujukan:
(1) Bukhari,
(2) Muslim,
(3) Abu Daud,
(4) Ad-Darimi
(5) Ibnu Majah

Nabi Muhammad mengisyaratkan Allah di langit:

“Sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: Tidakkah kamu mempercayai aku sedangkan aku yang dipercayai oleh Yang berada di atas langit Yang menurunkan khabar (wahyu) pada waktu pagi dan petang?”

Rujukan:
(1) Ahmad ¾,
(2) Bukhari no 4351,
(3) Muslim 144,
(4) Abu Daud,
(5) Nasa’I
(6) Baihaqi

“Orang-orang yang menyayangi akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang di bumi, akan disayangi oleh Yang di langit”.

Rujukan:
(1) Abu Daud 4941 hasan soheh,
(2) Baihaqi dalam “Asma wa As-Sifat halaman 300

Hadis seterusnya yang menguatkan:

“Demi jiwaku di tanganNya, tidaklah seseorang lelaki (suami) yang mengajak isterinya ke tempat tidur maka ia (isterinya) enggan mematuhinya kecuali yang di langit (Allah) akan mengutuknya sehinggalah ia diredhai oleh suaminya”.

Rujukan:
Muslim bab An-Nikah 121

“Sesungguhnya pada waktu itu dibuka pintu-pintu langit, maka aku suka amal-amal solehku diangkat naik pada saat tersebut”.

Rujukan:
(1) Ahmad
(2) Tirmizi

Rasulullah saw pernah bertanya kepada Amran bin Hussin yang diketika itu beliau belum memeluk Islam:

Bertanya Rasulullah: Berapa tuhan yang kau sembah pada hari ini? Beliau menjawab tujuh, enam di bumi satu di langit. Baginda bertanya: Diketika engkau ditimpa bahaya maka tuhan yang mana yang engkau seru? Beliau menjawab: Tuhan yang di langit”

Rujukan:
Baihaqi dalam “Al-Asma wa Sifat” halaman 300

Ummul Mukminin Zainab berbangga kerana dinikahkan oleh Allah yang di atas langit ketujuh sebagaimana pengakuan beliau:

“Kamu dikahwinkan oleh ahli-ahli kamu dan aku dikahwinkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh”.

Rujukan:
Bukhari no 7420,
Baihaqi dalam “Al-Asma wa Sifat halaman 296

Semasa kewafatan ‘Aisyah, Ibn Abbas berkata kepadanya:

“Aku sentiasa mencintai para isteri Rasulullah sebagaimana mencintai Rasulullah saw dan tidak pernah Rasulullah saw mencintai sesuatu kecuali kerana kebaikannya dan Allah telah membersihkan engkau dari atas langit yang ketujuh”.

Rujukan:
Bukhari no 7421

Berkata Umar:

Inilah wanita yang di dengar Allah pengaduannya dari langit ketujuh, inilah Khaulah binti Thalabah”.

Rujukan:
(1) Al-Baihaqi di dalam sanadnya,
(2) Lihat …Al-Islamiyah halaman 30 Ibn Qaiyim

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadis:

“Setelah Allah mencipta makhluk, ditulis satu kitab di sisiNya: Rahmatku mendahului kemurkaanKu, Ia di sisiNya di atas ‘Arasy”.

Rujukan:
(1) Bukhari no 7554,
(2) Muslim bab At-Taubah, 14


Jelaslah dengan pengambilan dalil-dalil dari Al-Quran, Hadis dan para Ulama’ muktabar menyatakan bahawa Allah berada di atas langit yang ketujuh iaitu bersemayam di atas ‘ArasyNya. Kita sebagai orang yang beriman hendaklah menetapkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya tanpa ditakwil mengikut hawa nafsu semata. Para ulama’ juga telah ijmak dalam masalah ini supaya kita imani dan jangan diseleweng dikhuatiri Akidah seseorang boleh terpesong. Semoga artikel yang tak seberapa ini dapat memberikan banyak manfaat kepada pembaca dan dapat disebarkan ilmu ini. Insyaallah.

Wallahu a’lam

Sabtu, 26 Januari 2013



TAHAJJUD
“Dan pada sebagian malam bertahajjudlah dengannya sebagai tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.(Surat al-Isra’, ayat 79)

Mengapa Allah menyuruh kita bangun ditengah malam untuk melaksanakan shalat tahajjud di tengah malam? Apa rahasia dibalik perintah Allah tersebut? Apakah betul orang-orang yang bertahajjud ditengah malam akan diangkat Allah ke tempat yang terpuji?

*Shalat Tahajjud, Stres dan Hormon Kortisol (Hormon Stres)*Siapa bilang ajaran dalam agama Islam hanya dogma dan doktrin. DR. Muhammad Soleh, dosen IAIN Surabaya, telah mampu membantah pandangan tersebut melalui desertasi yang ia pertahankan sehingga mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, dengan judul “Pengaruh shalat Tahajjud terhadap peningkatan perubahan respon ketahanan tubuh imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi”, menyimpulkan jika Anda melakukan shalat tahajjud secara rutin, benar gerakannya, ikhlas dan khusyu’ niscaya Anda akan terbebas dari penyakit infeksi dan kanker.

Desertasi ini melibatkan 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa, hanya 23 yang sanggup yang sanggup menjalankan shalat tahajjud selama satu bulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan shalat tahajjud selama dua bulan. Shalat tahjjud dimulai pukul 2.00-3.30 wib sebanyak 11 rakaat, dengan dua rakaat sebanyak 4 kali dan ditutup shalat witir sebanyak tiga rakaat. Dan selanjutnya hormon kortisol (hormon stres) dari 19 siswa tersebut diperiksa di tiga laboratorium di Surabaya (Pramitha, Prodia dan Klinika).

Apa yang terjadi? Para siswa yang shalat tahajjud dengan rutin dan ikhlas berbeda dengan siswa yang tidak melaksanakan shalat tahajjud. Mereka yang melaksanakan shalat tahajjud tersebut memilki kadar hormon kortisol yang rendah. Hal ini menandakan mereka memiliki ketahanan tubuh yang kuat dan kemampuan individu yang tangguh sehingga mampu menanggulangi masalah-masalah sulit dengan lebih stabil.

Hormon kortisol merupakan salah satu hormon stres. Kadar hormon ini semakin meninggi ketika kita dalam keadaan stres. Dengan kadar hormon yang meninggi kita lebih mudah berbuat salah, sulit berkonsentrasi dan daya ingat kita kurang baik. Hormon ini oleh pakar kesehatan dijadikan tolak ukur untuk tingkat/derajat stres seseorang. Makin stres seseorang maka hormon kortisol semakin meninggi dalam darahnya. Hormon kortisol memiliki kadar tertinggi di waktu tengah malam hingga di waktu pagi, terutama pagi-pagi sekali (normal di pagi hari berkisar 38-690 nmol/liter, sedangkan malam-nya 69-345 nmol/liter).

Stres dan depresi menjadi penyakit yang lazim di zaman sekarang ini. Stres sebenarnya keadaan yang positif bagi kita jika digunakan dalam keadaan yang masih wajar. Jika berlebihan maka kadar hormon adrenalin dan hormon kortisol akan meningkat sehingga menganggu sistem kekebalan tubuh yang akhirnya kita mudah terkena infeksi, penyakit maag, asma, dan memperburuk penyakit degenaratif kronis (kanker, diabetes, rematik dan lain-lain).

Dengan shalat tahajjud yang dilakukan secara rutin, ikhlas dan khusyu’akan mampu menciptakan karakter baru serta tangguh bagi pelaksananya, sehingga kita akan memiliki persepsi dan motivasi yang positip yang nantinya akan terhindar dari stres. Mungkin itulah maksud firman Allah pada surah Al-Isra’, ayat 79 diatas tentang diangkatnya para pelaksana shalat tahjjud ke tempat yang terpuji. Allahua’lam.

*Mengapa Harus Tengah Malam?*Kata tahajjud terambil dari kata hujud yang berarti tidur. Kata tahajjud dipahami oleh al-Biqai dalam arti tinggalkan tidur untuk melakukan shalat. Shalat ini juga dinamakan Shalat Lail/Shalat Malam, karena ia dilaksanakan di waktu malam yang sama dengan waktu tidur. Shalat ini terdiri dari dua sampai dengan delapan rakaat.

Apa rahasia bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud? Hal ini telah dijawab Allah pada surat al-Muzzammil, ayat ke 6-7, berbunyi: “Sesungguhnya bangun di waktu malam, dia lebih berat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya bagimu di siang hari kesibukan yang panjang.”

Dari ayat tersebut ada dua hal yang begitu mengesankan kita. Pertama, sengaja untuk bangun malam. Kedua, bacaan di malam hari memilki efek dan dampak yang lebih mengesankan. Sengaja bangun malam hanya bisa dilakukan oleh orang memiliki niat yang kuat pula. Niat yang yang kuat pasti didorong oleh motivasi yang kuat, sehingga pekerjaan tersebut akan dilakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh.



Shalat tahajjud dilakukan setelah tidur. Apa manfaatnnya pula? Bangun tidur pasti pikiran kita lebih fresh-segar. Bayangkan dalam satu hari, jantung kita berdetak sebanyak 100.000 kali, darah kita mengalir melalui 17 juta mil arteri, urat darah halus dan juga pembuluh-pembuluh darah. Tanpa kita sadari rata-rata sehari kita berbicara 4.000 kata, bernafas sebanyak 20.000 kali, menggerakkan otot-otot besar sebanyak 750 kali, dan mengopersikan 14 milyar sel otak.

Manusia perlu istirahat. Dan tidur adalah istirahat yang sangat baik menurut ilmu kesehatan. Dengan tidur berarti terjadi proses pemulihan sel tubuh, penambahan kekuatan dan otak kita kembali berfungsi dengan sangat baik. Tak heran kalau Allah berkehendak agar shalat tahjjud dikerjakan setelah tidur. Kurang baik jika dilakukan langsung setelah kita begadang malam. Dengan pikiran yang fresh akan membantu kita untuk lebih khusyu’ memaknai ayat-ayat Allah yang kita baca.

Bacaan di malam hari lebih mengesankan dibandingkan di siang hari, mengapa demikian? Pernahkan kita mengingat orang atau teman kita yang hobinya bermain break-breakan (orari). Mereka lebih senang akan memilih berkomunikasi di malam hari kira-kira mulai pukul 02.00-04.00 tengah malam. Kalau kita tanya kenapa mereka suka ngebreak di waktu tersebut, mereka menjawab suara yang dihasilkan di waktu itu lebih cukup bagus dan jernih, walaupun daya jangkaunya sangat jauh. Berbeda dengan siang hari suara breaker tidak begitu jelas banyak frekuensi lain yang menganggu.

Ini menandakan bangun di tengah malam dan bershalat tahajjud sangat baik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Dan komunikasi yag kita lakukan semuanya berbasis pada pancaran energi. Penulis punya pengalaman menarik terhadap seseorang yang berumur setengah baya ketika berbicara dalam sebuah forum, dimana tutur katanya begitu santun didengar, wajahnya penuh percaya diri dan enak untuk dipandang, memiliki karakter yang kuat untuk mempengaruhi orang yang berinteraksinya dengannya. Pada sebuah kesempatan penulis bertanya :”Apa kira-kira rahasia kelebihan yang saudara miliki selama ini?”. Ia menjawab dengan singkat dan santun,”Disiplinkan diri dengan bershalat tahajjud!”.

*Meditasi dan Tahjjud*Meditasi berarti keheningan, diam dan kesendirian. Keheningan muncul apabila pikiran sadar kita telah berhenti sepenuhnya. Diam berarti berhentinya aktivitas fisik sedangkan kesendirian berati kita harus melakukanya sendiri tanpa bantuan, tuntutan, atau kehadiran orang lain.

John Kehoe, penulis buku terlaris ‘Mind Power’ pernah melakukan tapa brata dengan menyingkirkan diri dari hiruk piruk dunia, kemudian menyepi didalam hutan untuk melakukan meditasi. Hal ini ia lakukan untuk menembus batas kesadaran tertinggi atau lapiasan terdalam pikiran bawah sadarnya melalui kesunyian dan pencarian diri.

Banyak dari mereka melakukan metoda meditasi lewat relaksasi senam ringan, olah napas, pindah ketempat yang sunyi dengan menghidupkan kaset-kaset, CD pencerahan. Bahkan ada yang menggunakan aroma terapi wewangian, tak heran terlalu besar biaya yang dikeluarkan hanya untuk bermeditasi saja.

Padahal Allah telah memberikan jalan alternatip ke kita pada 14 abad yang lalu untuk lebih dekat dengan-Nya lewat pelaksanaan shalat malam, karena shalat adalah salah satu bentuk meditasi. Selama ini kita terjebak pada belenggu diri kita sendiri yang menjadikan shalat sebagai kewajiban semata bukan sebuah kebutuhan, kalau tidak shalat akan masuk neraka, terkesan Tuhan yang membutuhkan kita. Ironis.

Padahal untuk melakukan shalat tahjjud kita tak perlu ke hutan, mengasingkan diri, cukup bangun di tengah malam kemudian berwudu’ (bersuci) secara sederhana menurut rukun dan syaratnya. Tak perlu biaya mahal, hanya perlu tempat dan sajadah yang bersih.

*Kesimpulan*Jika kita melaksanakan shalat tahajjud secara rutin, benar gerakannya, ikhlas dan khusyu’ akan memiliki daya tahan tubuh yang kuat, sehingga tidak mudah stres ketika menghadapi problematika kehidupan. Dengan shalat tahajjud pasti hati kita akan semakin lembut, jernih dan berenergi tinggi, sehingga bacaan shalat beserta hikmah-hikmah yang terkandung mengalir deras dalam relung-relung jiwa kita dan menjadi pelita hidup di kemudian hari. Semoga Allah mengangkat kita ke tempat yang terpuji.

Jumat, 20 Juli 2012

PUASA, RAMADHAN DAN KITAB MULIA.

 

PUASA, RAMADHAN DAN KITAB MULIA.
Puasa diambil dari bahasa Sansekerta, yang di adopsi ke bahasa Indonesia. Maknanya ada dua (1)“ mendekatkan diri kepada Pencipta” dan (2) ada yang mengartikan sebagai “menyiksa diri” untuk tidak makan dan minum, atau perbuatan yang lain – untuk tujuan tertentu. Sudah lama kata ini dikenal di Hindustan, ribuan tahun yang lalu. Sedangkan bahasa Inggris, mengenal kata “fasting”, konon dari bahasa Jerman “fasten” .


Kitab Mulia menggunakan kata “shiyam” merujuk kata puasa, tertulis sebanyak delapan kali. Semuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum Islam. Kadang, Kitab Mulia menggunakan kata “shaum” yang berarti menahan diri, misalnya untuk tidak berbicara (Qs, 19:26) – yang diceritakan pada kisah Maryam (Maria, Mariyah). Ketika Maryam diajarkan oleh malaikat Jibril as untuk tidak berbicara kepada seorang manusiapun, jika ada yang mempertanyakan kelahiran Isa as (Yesus). “Biarlah yang menjawab semua pertanyaan tersebut Isa as sendiri - sewaktu bayi”. Kata “shaum” juga digunakan sekali-kali dalam bentuk perintah Puasa di bulan Ramadhan, yang menunjukkan bahwa “puasa adalah baik untuk kamu”.
Bagaimanapun kata “shiyam” atau “shaum” – bagi kita – pada hakekatnya adalah menahan diri atau mengendalikan diri. Karena itu, kata puasa dipersamakan dengan sikap “sabar”, baik dari segi bahasa maupun pengertian kesabaran dalam berpuasa ( Dr. Quraish Shihab – Wawasan al Qur’an).


Dalam tradisi Islam, nilai berpuasa sangat tinggi, dan hak prerogatif Tuhan yang menilainya. Misalnya dalam sebuah hadist Qudsi menyatakan bahwa : “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”. Nilai tiap orang berbeda-beda dalam menjalankan puasanya.


Pertama-tama , kita akan meluruskan beberapa hal. Shiyam atau Shaum hanya diserukan bagi orang-orang yang beriman, bukan untuk Muslim atau orang yang beragama Islam – tetapi Muslim yang “merasa” beriman. Ini dimulai dengan dorongan kepada umat Islam yang beriman untuk melaksanakan dengan baik, dengan ikhlas. Perhatikan (Qs, 002:183), ia dimulai dengan panggilan mesra. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu untuk berpuasa”. Ditambah keterangan lainnya, bahwa puasa telah lama dikenal oleh umat-umat terdahulu (min qablikuum), berbagai riwayat menunjukkan telah dikenal sejak Ibrahim (Abraham), Musa (Moses) hingga Isa as (Yesus). Tujuannya “supaya kamu bertakwa” atau “la’allakum tattaquun”.


Nabi memberi keterangan sehubungan dengan kalimat “supaya kamu bertakwa” ini. Misalnya saja: “ Banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. Karena tidak “sabar”, berkata kurang baik, berperi laku tidak sesuai dengan apa yang menjadi pedoman puasa. Dengan demikian, menahan diri “dari lapar dan haus” bukan tujuan utama puasa. Banyak juga manusia yang berpuasa karena alasan lain, misalnya demo untuk protes, penyucian diri, untuk kesehatan dan lain-lain. Tetapi puasa di bulan Ramadhan, benar-benar karena ingin mendapat ridha dari Tuhan semata.


Takwa dari sisi bahasa, menurut Dr Quraish Shihab bermakna “menjauhi, menghindar” atau “menjaga diri”. Namun ada yang “aneh”, secara harfiah, kalimat perintah ini berarti: “Jauhilah dan jaga dirimu dari Allah”. Dengan demikian harus ditafsirkan sebagai menghindari, jauhi dan menjaga diri agar supaya tidak mendapat hukuman (koreksi, imbalan) dari Tuhan – karena melanggar batas. Baik itu hukuman didunia sebagai peringatan atau koreksi, maupun hukuman di akhirat sebagai buah perbuatan di dunia. Takwa adalah bentuk usaha menghindari diri dari perbuatan-perbuatan buruk, yang menyebabkan kita mendapat peringatan, koreksi atau hukuman dari Tuhan. Makin jauh dari perbuatan-perbuatan tercela – makin bertakwalah kita.
Syeikh Muhammad Abduh, pemikir Islam, memberi pernyataan yang lebih tegas, “0rang-orang bertakwa adalah orang-orang yang setiap saat merasakan kehadiran Tuhan, sehingga ia merasa takut untuk berbuat hal-hal yang buruk”. Termasuk berdusta, melanggar janji, berkata tidak ada manfaatnya, dan menyakiti hati orang lain dan selalu memikirkan bagaimana beramal saleh.


Dengan berpuasa di bulan Ramadhan, Muslim beriman dilatih untuk berbuat sesuatu yang akan menambah ketakwaannya. Sehingga ia lama-lama – setiap saat akan merasakan kehadiran Tuhan Sang Pencipta – dan tidak berani berbuat hal-hal yang buruk dan tidak berguna, serta memperbanyak hal-hal yang baik yang bermanfaat bagi lingkungannya, bagi masyarakat setempat, bangsa dan Negara. Memberikan kontribusi positif, dan ikut membantu membangun peradaban manusia. Sesuai tugas utama seorang khalifah yang dibebankan kepada generasi Adam as di Bumi dan lingkungannya. Makluk berakal dan berbudaya yang dituntut selalu memberi rahmat bagi alam semesta.


Paling tidak ada tujuh manfaat lahir dan batin, menurut para pakar, jika dilakukan dengan benar (Muslim World League Canada Office):


1. Memberikan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia yang kekurangan makan dan minum.
2. Mananamkan rasa akan adanya kehadiran Tuhan didekat kita.
3. Memberi pelajaran akan disiplin program, waktu dan harapan. Ujung-ujungnya sikap lebih optimistik.
4. Melatih kejiwaan, lebih transparan, toleran, clear of mind, dan puluhan manfaat fisik yang telah dibuktikan dalam jurnal kesehatan.
5. Memupuk rasa sosial, kebersamaan dan kesadaran bahwa makhluk manusia memiliki status yang sama, tidak ada yang diunggulkan.
6. Melatih perilaku yang lebih baik dan kontributif.
7. Suatu pelajaran yang efektif dalam penggunaan “will power”, dalam manajemen.


Tetapi jika ia berpuasa dengan cara yang tidak benar, maka yang didapat hanyalah ”rasa haus dan lapar”. Tidak ada manfaat apa-apa.


Sruktur Kitab Mulia Yang Unik.


Uraian Kitab Mulia al-Qur’an tentang Puasa di bulan Ramadhan terdapat dalam sejumlah ayat, yaitu pada Surat (Surah) Al Baqaarah/Sapi Betina, nomor 183, 184, 185, 187. Susunan nomor ayatnya “aneh”, karena tidak berurutan. Lompat dari nomor 186 ke 187.


Ayat nomor 186, awalnya, menjelaskan tentang pertanyaan orang Quraisy di Makkah kepada Nabi, “Dimana Tuhan Muhammad berada?” Maka direspon dengan firman Illahi:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku (Tuhan) memperkenankan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku………” (Qs, 002:186).


Nah disini uniknya susunan Kitab Mulia, jika digit angka nomor surat dan nomor ayat dijumlahkan, maka ia akan membentuk bilangan yang kelipatan 19, bilangan prima kode utama Kitab Mulia. Perhatikan, dimulai dari nomor surat, yaitu angka 2.


2 + 1 + 8 + 3 + 1 + 8 + 4 + 1 + 8 + 5 + 1 + 8 +7= 57. Bilangan 57 adalah bilangan kelipatan 19, karena ia adalah 19 x 3.


Sekarang pembaca mengerti dan paham mengapa, ayat keterangan tentang puasa di bulan Ramaddhan tidak berurutan, ia digeser dari nomor 186 ke 187. Sebab, jika berurutan, maka bilangan yang didapat bukanlah 57 tetapi 56. Angka 56 bukan bilangan kelipatan 19, karena tidak habis dibagi oleh angka 19.


Bagaimana pembaca ? Mulai paham arti kripto dalam Kitab Mulia?


Sudah siap dengan yang lebih sulit?


Kita ringkas saja ya ….penjelasan berikutnya.


Pada dasarnya, ayat-ayat yang memerintahkan puasa dalam bulan Ramadhan, memiliki kode 7 yang lebih rumit. Dengan “cypher” atau “pembuka kode” kata Allah, dimana tersusun dengan 3 abjad, yaitu: Alif, Lam dan Haa. Nah, jika pembuka kode dengan 3 abjad ini diterapkan pada tiap kata dalam ayat tersebut diatas, maka kita akan mendapatkan bilangan yang panjang, yang merupakan kelipatan 7.


Kita ambil contoh ayat 183, terdiri dari 14 kata (7 x 2). Dimulai dengan kata ”yaa ayyuha”, terdapat abjad “alif dan “haa”, maka kodenya “3”, karena jumlahnya tiga, dua “alif” dan satu “haa” (harus lihat teks Arabnya). Demikian seterusnya, hingga kita mendapatkan kode ayat 183 adalah 14 digit angka:


3 2 2 0 2 3 2 0 1 2 1 2 3 0


Bilangan diatas adalah bilangan kelipatan 7, karena ia, 32202320121230 = 7 x 4600331445890.


Artinya setiap susunan abjad, dan kata serta kalimat harus didusun sedemikian rupa, hingga tiap satu ayat membentuk kode bilangan kelipatan 7, dengan pembuka kode kata “Allah”, yang terdiri dari 3 abjad, Alif, Lam, dan Haa.


Tidak terbayangkan bukan.


Dan akhirnya, "Happy Shaum" bagi yang akan berpuasa.


SUMBER: ARIFIN MUFTI
PUASA LAPAR DAN OTAK KITA.


Sumber : Arifin Mufti
Klasifikasi: Sedang.


AWW


Puasa sudah dikenal lama, bukan saja oleh pemeluk Yahudi, Nasrani dan Islam, tetapi juga orang – orang Mesir Kuno, jauh sebelum era Musa as (Moses), ribuan tahun yang lalu. Begitu juga, jika kita bertanya kepada para saintis, mereka dapat dengan mudah menunjukkan ribuan “paper” dan jurnal ilmiah yang menjelaskan manfaat puasa yang dilakukan secara teratur dan sistimatis.


Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh Andrea Useem dan Magaretha. Nama yang pertama, Andrea adalah jurnalis wanita yang sangat terkenal di bidang agama dari Oman, Afrika Timur. Artikelnya kerap muncul di Washington Post atau USA Today. Sedangkan yang kedua, Margaretha kawan saya, penulis yang sering “tag” hasil pemikirannya ke my Note. Dia juga menulis buku, salah satunya dibidang kesehatan, sebagai hobinya.


Puasa dari bahasa Sansekerta “pawasa”, sebagian mengatakan dari bahasa Jawi. Bahasa Ibrani “Tsom” dan bahasa Yunani ”Nesteia”. Puasa bukanlah suatu ketentuan baru yang ditemukan dalam sejarah umat manusia, tapi merupakan amalan ibadah yang diwariskan dan selalu dilakukan oleh manusia semenjak dahulu. Ia sudah dikenal oleh kebanyakan bangsa, termasuk umat beragama. Dalam perspektif Islam misalnya - al Qur’an (Bacaan) memberi isyarat sebagai berikut:


"Telah diwajibkan atas kamu berpuasa (shaum) sebagaimana diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kamu" (Sapi Betina/Al Baqaarah, 2:183).


Sejarah menceritakan kepada kita bahwa orang-orang Mesir kuno melakukan puasa sebagai penyembahan kepada Tuhan yang dinamakan Laysis. Orang-orang Yunani Kuno berpuasa sebagai penyembahan kepada Tuhan ladang yang dinamakan Demeter. China kuno dan orang-orang Indiapun demikian. Cendekiawan dimasa lalu, seperti Socrates, Hippocrates,Galen ,Plato atau Pythagoras juga melakukan puasa untuk kesehatan dan mempertajam daya pikir mereka. Sekali lagi untuk mempertajam daya pikir, berhubungan dengan otak.


Puasa dalam perspektif Islam disebut shiyam - yang menurut arti bahasa bermakna: "menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu". Dimana prinsipnya, menahan diri dari hal - hal tertentu yang cara-caranya diatur sesuai perintah agama, tujuan utamanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan lainnya adalah membentuk karakter yang lebih positif, misalnya melatih kesabaran.


Namun saya tidak akan membahas yang berhubungan dengan dimensi spiritual, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berhubungan dengan otak kita.


Dalam jurnal ilmiah yang relatif baru, karya Dr. Muhammad Kazeem. Puasa yang teratur dapat menolong memantapkan pola tidur dan mengatur jam tubuh.


Kegiatan otak manusia pada dasarnya dapat direkam dalam alat yang disebut EEG. Rekaman tersebut menunjukkan beberapa hal penting:
(1). Ketika kita terjaga dengan tenang akan tercata gelombang alpha 8-12 Hz (lingkaran sesaat), ini adalah tidur tahap satu. Gelombang alpha hilang apabila kita membuka mata atau terjaga.
(2). Apabila tidur mulai lelap, sampai ke tahap dua 12-14 Hz iaitu kemunculan gelombang lambat.
(3).Tahap ketiga dan keempat tidur pula dicirikan dengan kegiatan rendah tetapi tegangan tinggi. Gerakan cepat bola mata (REM) terhenti pada tahap tiga dan empat apabila nafas tenang.


Kegiatan delta (gelombang sangat perlahan, 0.5-4 Hz) muncul ketika betul-betul lelap (tidur mati). Tahap dua, tiga dan empat berlaku sekitar 70 menit.


Siklus ini berlaku tiga atau empat kali semalaman.


Dengan berpuasa, tidur menjadi lebih nyenyak yaitu di tahap tiga dan empat. Apabila tubuh menjadi tenang, Proses memperbaiki tubuh (sel-sel tubuh) dapat dilaksanakan secara sempurna. Sejumlah percobaan membuktikan bahwa orang yang tidur dua jam waktu bulan Ramadhan (Puasa), ternyata lebih baik hasilnya dibandingkan waktu-waktu lain (bulan lain). Banyak mimpi mungkin perlu untuk memelihara kesehatan.


Ketika kita sering berpuasa dengan teratur, maka kita akan jauh lebih mudah mengatur jam tubuh untuk kepentingan kesehatan. Karena jam tubuh kita, ternyata dipengaruhi juga oleh pola lapar dan kenyang, selain pola musim yang terpengaruh oleh posisi Bulan serta siang dan malam. Hormon tertentu produksinya dipicu oleh jam tubuh.


Demikian juga, sejenis bahan yang disebut hormon manusia atau nama khusus Opiods (Endorphin) lebih mudah dihasilkan ketika Ramadhan. Hormon ini memberikan efek lebih tenang bagi tubuh – hasilnya - menurunkan ketegangan, stress dan tekanan darah.


OTAK KITA YANG RUMIT.


Sejumlah dokter menjelaskan bahwa ilmu medis menghadapi kendala yang besar ketika berhadapan dengan pengobatan otak. Karena kerumitan organ ini maka hanya membolehkan cara tertentu untuk pengobatannya. Resep menggunakan obat-obat kimia atau narkotik sangat berbahaya. Satu-satunya cara yang aman dan masuk akal adalah berpuasa. Puasa dapat menyembuhkan atau membantu penyembuhan penyakit jiwa (mental disorder). Sakit kepala yang parah, daya ingat dan konsentrasi bisa terbantu penyembuhannya.


Namun, saya sering merasakan betapa lapar dan hausnya ketika lewat jam makan siang. Alamiah tentunya, menjadi lebih ngantuk, rasanya berpikir agak lambat. Bahkan, kadang-kadang sedikit pemarah.


Saya tahu benar, tujuan utama puasa adalah dimensi spiritual – Tuhan akan membalasnya nanti di kehidupan sesudah mati – tapi bagaimana ya? Kadang-kadang, tersiksa juga. Ho..ho…just a joke.


Oleh karena itu, saya begitu antusias untuk mempelajari artikel-artikel yang dikeluarkan oleh John Ratey, MD seorang psikhiatris dari Harvard Medical School, bagaimana ketika membatasi kalori - secara umum adalah puasa - dapat memperbaiki fungsi otak kita.


Ternyata ketika saya akan menanyakan dengan email kepada Dr. Ratey, bagaimana manfaatnya kalau seseorang puasa di bulan Ramadhan. Sudah ada jawaban yang telah diberikan kepada seseorang yang menanyakan hal yang sama di tahun 2006. Intinya, para peneliti telah mempelajari pada sejumlah orang sehat dalam kelompok kecil selama dan sesudah bulan Ramadhan, kemudian memonitor aktivitas otak melalui “Functional Magnetic Resonance Imaging” (fMRI). Para peneliti menyimpulkan semua individu secara konsisten memperlihatkan suatu pertambahan aktivitas pada “motor cortex” selama bulan Ramadhan.


Penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh saintis lainnya, termasuk Mark Mattsonn, Ph D, yang mengepalai neuroscience lab di NIH, National Insttitute On Aging. Matsoon telah mengerjakan penelitian yang sangat luar biasa, bagaimana puasa yang teratur mampu secara signifikan melindungi otak kita dari penyakit regeneratif seperti Alzhemeir atau Parkinson.


Artikel tahun 2003, Mattson dan kawan-kawan telah melaporkan pada percobaan tikus, dimana ada diet sejumlah kalori antara 30 % hingga 50 % dari kalori normal, menunjukkan bukan saja menurunkan denyut jantung per menit dan tekanan darah, tetapi juga membuat “lebih muda” otak, sesuai umur yang berhubungan dengan “ekspresi gen”.


Penelitian yang lebih jauh pada manusia baik di Amerika, Eropa, China dan Jepang – memakan makanan yang dibatasi dalam waktu berkala, misalnya puasa, “memungkinkan perobahan pada ekspresi gen yang membuat perobahan lebih adaptif pada sel-sel metabolism dan meningkatkan kemampuan tubuh untuk menurunkan tingkat STRESS”.


Aha..kalau begini sangat bijaksana jika bersungguh-sunguh puasa (shaum), dan saya tahu benar puasa dalam perspektif Islam bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga membiasakan diri untuk menghindari perbuatan-perbuatan buruk, tidak melakukan sex - antara waktu terbitnya fajar hingga Matahari terbenam dan banyak bersedekah.


Selamat ber-shaum bagi yang melakukannya.

Sabtu, 02 Juni 2012

Riwayat Hujatul al Imam Al-Ghazali

 

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.

 Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir.

Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, 

“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata,

 “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya.

 Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. 

Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. 

Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.

 Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. 

Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).


Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

 

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.

 Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” 

Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Karya-Karyanya*

*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204

Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:

  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.

  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.

  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.

  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.

  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. 

Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.

Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). 

Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.


(2) Mahakun Nadzar.

(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.

(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.

(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.

(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.

(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.

(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya,

 “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. 

Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.

(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.

(11) Qanun At Ta’wil.

(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.

(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.

(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.

(15) Ar Risalah Alladuniyah.

(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa.

 Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi.

 Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini.

 Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,

 “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar

Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

(18) Al Wasith.

(19) Al Basith.

(20) Al Wajiz.

(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. 

Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya).

 Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. 

Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929).

 Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri.

 Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

***